semuanya masih tetap sama
setelah sebuah masa telah usai terlewati,,aku pikir semuanya sudah selesai dan akan berubah. tapi ternyata semua masih tetap sama..
lingkungan dan kehidupan memang berbeda, tapi isi hati yang masih sama..."kosong" akan hadirnya seorang terbaik kiriman Alloh...
aku yakin pasti Alloh masih menyembunyikannya karna ia masih berusaha untuk memperbaiki dirinya,,maka akupun akan demikian, tetap akan selalu memperbaiki diri..
semoga Alloh cepat menunjukkan yang terbaik ,hingga aku tak ragu lagi menjalankan semua kewajiban dan segala sunah-sunahnya...
semua tentang kehidupan
Kamis, 07 November 2013
Selasa, 26 Februari 2013
Istimewanya Kebudayaan Jawa...
Budaya Jawa memiliki
ciri yang khas yang terletak pada kemampuan luar biasa kebuadayaan Jawa untuk
membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari
luar dan dalam namun masih mampu mempertahankan keasliannya. Kebudayaan Jawa justru
tidak menemukan diri dan berkembang kekhasannya dalam isolasi, melainkan dalam
pencernaan masukan-masukan kultural dari luar.
Keunggulan budaya Jawa dalam bertanding dengan kultur lain terletak pada keseimbangan berolah rasa, olah jiwa dan olah pikir.
Tripartite olah rasa-jiwa-pikir itu, menjiwai seluruh rangkaian lelaku bagi wong Jawa tulen. Impact langsungnya, kearifan jiwa dan kerendahan hati seorang Jawa terselubung dalam segala keputusan intelektualnya.
Nilai dan etika Jawa sebagai bagian dari kebudayaan Jawa merupakan sebuah tuntunan bagi setiap individu dalam masyarakat Jawa bagaimana seharusnya menjalankan kehidupannya. Nilai dan etika Jawa berbentuk prinsip hidup yang dipegang erat oleh semua orang Jawa. Adapun nilai dan etika yang dimaksud antara lain : prinsip rukun, prinsip hormat, tepa selira, nrimo ing pandum, sepi ing pamrih rame ing gawe memayu hayuning bawana, ajining diri soko lathi ajining rogo soko toto, sura dira jayadiningrat lebur dening pangastuti dan sebagainya.
Di kehidupan sekarang ini yang serba modern, orang semakin meninggalkan diri dari kebudayaan Jawa. Mereka bangga dengan budaya barat dan menganggap remeh budaya Jawa. Bila hal ini dibiarkan terus menerus maka sangat mengkhawatirkan, maka siapa yang akan mewarisi dan melestarikan budaya Jawa. Lalu bagaimana juga dengan nilai dan etika Jawa masih relevankah dengan dunia modern saat ini. Hal ini sangat menarik karena budaya Jawa justru mampu mempertahankan keasliannya ditengah gelombang modernisasi dan globalisasi.
Memudarnya kecintaan terhadap budaya lokal menjadi momok Indonesia yang tak kunjung berhenti. Akan tetapi, hanya segelintir orang yang merasa cemas akan adanya fenomena tersebut. Bahkan ada saja yang sekelompok orang yang sudah menganggap budaya lokal sudah tidak relevan dengan kemajuan globalisasi.
Budaya Jawa telah hilang rohnya sebagai dampak benturan budaya sekuleristis nan menghedonistis. Fenomena memudarnya budaya Jawa dapat dilihat dari sudut pandang perilaku konsumerisme, menurunnya jumlah rumah ala Joglo yang sebenarnya tahan gempa dan bagaimana fungsi hukum adat yang tergerus relevansi global.
Budaya belanja mempunyai dampak negatif terhadap pertumbuhan budaya Jawa. Di lain sisi pemenuhan kebutuhan, tindak tanduk belanja juga memfokuskan pada prestise dan gaya hidup ke-British-an. Dan hasilnya adalah fenomena yang bertentangan dengan pepatah Jawa ’Melok Nanging Ojo Nyolok’.
Ke-doyan-an masyarakat Jawa untuk berbelanja faktor yang mempengaruhi budaya Jawa. Apalagi ketika berbelanja di toko yang menjajakan jajanan produk luar negeri. Buktinya, semenjak baju ’full-press body’ populer, jarik atau blangkon semakin terpinggirkan. Kesukaan mengenakan pakaian yang full press body ini sangat bertentangan dengan nilai ajining raga soko tata, dimana orang Jawa sangat menjunjung tinggi kesopanan namun yang terjadi saat ini kaum muda lebih bangga jika mereka mampu menampilkan keindahan tubuh mereka yang dalam pandangan Jawa hal itu adalah tabu atau saru. Budaya belanja atau tindak konsumtif lainnya yang ada sekarang ini menyiratkan akan adanya sebuah keretakan budaya Jawa.
Berkurangnya jumlah rumah joglo sebagai jagad cilik dan berganti dengan model rumah yang bernuansa modern adalah fenomena kedua yang menyebabkan memudarnya budaya Jawa. Padahal rumah joglo lebih kokoh dan anti gempa dibanding rumah modern karena rumah Jawa memiliki soko guru sebagai tiang penopang yang diselaraskan dengan situasi alam.
Dibidang hukum, terlihat adanya hilangnya peran hukum yang disebabkan karena pemaksaan kehendak penguasa dan tergerus arus globalisasi serta penyesuaian hukum-hukum adat dengan hukum internasional. Ketiga aspek yang mengindikasikan memudarnya budaya Jawa ini merupakan akibat dari merosotnya nilai filsafat Jawa yaitu memayu hayuning bawana. Sebuah nilai filsafat yang memuat nilai persaudaraan, hormat kepada sesama dan alam sekitar, dan menjaga keseimbangan hidup yang mulai ditinggalkan kaum muda jaman sekarang.
Lalu apakah semua nilai, etika dan budaya Jawa memudar. Tentunya tidak, karena masih ada nilai, etika dan budaya Jawa yang masih tetap dilestarikan hingga sekarang ini antara lain prinsip rukun dan prinsip hormat masih dipertahankan sampai saat ini.
Prinsip rukun dan hormat adalah dua prinsip dasar dalam kehidupan masyarakat Jawa yang tertanam sangat kuat karena diajarkan dalam keluarga. Setiap individu diajarkan untuk senantiasa bertindak rukun dan hormat pada sesamanya. Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis.
Prinsip hormat mengajarkan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing pihak meresapi seluruh kehidupan orang Jawa.
Lalu bagaimana supaya nilai, etika dan budaya Jawa bisa bertahan dan eksis dikalangannya sendiri. Ini adalah pekerjaan rumah yang besar bagi setiap individu dalam masyarakat Jawa. Cukup dengan menggabungkan keseimbangan dalam berolah pikir, jiwa dan rasa pada setiap insan
(Tripartite olah rasa-jiwa-pikir) telah mampu memposisikan keandalan budaya Jawa, tetap akan eksis dalam konstelasi budaya global. bahkan saat inibatik yang telah diakui oleh unesco menjadi kebudayaan asli indonesia telah menjadi kebanggaan tersendiri oleh masyarakat inndonesianya dimana pada hari tertentu (jumat) para menteri/ pegawai pemerintah selalu menggunakan batik pada hari tersebut selain itu batikpun kini menjadi salah satu tren dikalangan anak muda dengan banyaknya barang-barang yang bercirikan khas batik mulai dari sandal batik,tas batik bahkan model rambut yang membentuk ukiran batik.
Keunggulan budaya Jawa dalam bertanding dengan kultur lain terletak pada keseimbangan berolah rasa, olah jiwa dan olah pikir.
Tripartite olah rasa-jiwa-pikir itu, menjiwai seluruh rangkaian lelaku bagi wong Jawa tulen. Impact langsungnya, kearifan jiwa dan kerendahan hati seorang Jawa terselubung dalam segala keputusan intelektualnya.
Nilai dan etika Jawa sebagai bagian dari kebudayaan Jawa merupakan sebuah tuntunan bagi setiap individu dalam masyarakat Jawa bagaimana seharusnya menjalankan kehidupannya. Nilai dan etika Jawa berbentuk prinsip hidup yang dipegang erat oleh semua orang Jawa. Adapun nilai dan etika yang dimaksud antara lain : prinsip rukun, prinsip hormat, tepa selira, nrimo ing pandum, sepi ing pamrih rame ing gawe memayu hayuning bawana, ajining diri soko lathi ajining rogo soko toto, sura dira jayadiningrat lebur dening pangastuti dan sebagainya.
Di kehidupan sekarang ini yang serba modern, orang semakin meninggalkan diri dari kebudayaan Jawa. Mereka bangga dengan budaya barat dan menganggap remeh budaya Jawa. Bila hal ini dibiarkan terus menerus maka sangat mengkhawatirkan, maka siapa yang akan mewarisi dan melestarikan budaya Jawa. Lalu bagaimana juga dengan nilai dan etika Jawa masih relevankah dengan dunia modern saat ini. Hal ini sangat menarik karena budaya Jawa justru mampu mempertahankan keasliannya ditengah gelombang modernisasi dan globalisasi.
Memudarnya kecintaan terhadap budaya lokal menjadi momok Indonesia yang tak kunjung berhenti. Akan tetapi, hanya segelintir orang yang merasa cemas akan adanya fenomena tersebut. Bahkan ada saja yang sekelompok orang yang sudah menganggap budaya lokal sudah tidak relevan dengan kemajuan globalisasi.
Budaya Jawa telah hilang rohnya sebagai dampak benturan budaya sekuleristis nan menghedonistis. Fenomena memudarnya budaya Jawa dapat dilihat dari sudut pandang perilaku konsumerisme, menurunnya jumlah rumah ala Joglo yang sebenarnya tahan gempa dan bagaimana fungsi hukum adat yang tergerus relevansi global.
Budaya belanja mempunyai dampak negatif terhadap pertumbuhan budaya Jawa. Di lain sisi pemenuhan kebutuhan, tindak tanduk belanja juga memfokuskan pada prestise dan gaya hidup ke-British-an. Dan hasilnya adalah fenomena yang bertentangan dengan pepatah Jawa ’Melok Nanging Ojo Nyolok’.
Ke-doyan-an masyarakat Jawa untuk berbelanja faktor yang mempengaruhi budaya Jawa. Apalagi ketika berbelanja di toko yang menjajakan jajanan produk luar negeri. Buktinya, semenjak baju ’full-press body’ populer, jarik atau blangkon semakin terpinggirkan. Kesukaan mengenakan pakaian yang full press body ini sangat bertentangan dengan nilai ajining raga soko tata, dimana orang Jawa sangat menjunjung tinggi kesopanan namun yang terjadi saat ini kaum muda lebih bangga jika mereka mampu menampilkan keindahan tubuh mereka yang dalam pandangan Jawa hal itu adalah tabu atau saru. Budaya belanja atau tindak konsumtif lainnya yang ada sekarang ini menyiratkan akan adanya sebuah keretakan budaya Jawa.
Berkurangnya jumlah rumah joglo sebagai jagad cilik dan berganti dengan model rumah yang bernuansa modern adalah fenomena kedua yang menyebabkan memudarnya budaya Jawa. Padahal rumah joglo lebih kokoh dan anti gempa dibanding rumah modern karena rumah Jawa memiliki soko guru sebagai tiang penopang yang diselaraskan dengan situasi alam.
Dibidang hukum, terlihat adanya hilangnya peran hukum yang disebabkan karena pemaksaan kehendak penguasa dan tergerus arus globalisasi serta penyesuaian hukum-hukum adat dengan hukum internasional. Ketiga aspek yang mengindikasikan memudarnya budaya Jawa ini merupakan akibat dari merosotnya nilai filsafat Jawa yaitu memayu hayuning bawana. Sebuah nilai filsafat yang memuat nilai persaudaraan, hormat kepada sesama dan alam sekitar, dan menjaga keseimbangan hidup yang mulai ditinggalkan kaum muda jaman sekarang.
Lalu apakah semua nilai, etika dan budaya Jawa memudar. Tentunya tidak, karena masih ada nilai, etika dan budaya Jawa yang masih tetap dilestarikan hingga sekarang ini antara lain prinsip rukun dan prinsip hormat masih dipertahankan sampai saat ini.
Prinsip rukun dan hormat adalah dua prinsip dasar dalam kehidupan masyarakat Jawa yang tertanam sangat kuat karena diajarkan dalam keluarga. Setiap individu diajarkan untuk senantiasa bertindak rukun dan hormat pada sesamanya. Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis.
Prinsip hormat mengajarkan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing pihak meresapi seluruh kehidupan orang Jawa.
Lalu bagaimana supaya nilai, etika dan budaya Jawa bisa bertahan dan eksis dikalangannya sendiri. Ini adalah pekerjaan rumah yang besar bagi setiap individu dalam masyarakat Jawa. Cukup dengan menggabungkan keseimbangan dalam berolah pikir, jiwa dan rasa pada setiap insan
(Tripartite olah rasa-jiwa-pikir) telah mampu memposisikan keandalan budaya Jawa, tetap akan eksis dalam konstelasi budaya global. bahkan saat inibatik yang telah diakui oleh unesco menjadi kebudayaan asli indonesia telah menjadi kebanggaan tersendiri oleh masyarakat inndonesianya dimana pada hari tertentu (jumat) para menteri/ pegawai pemerintah selalu menggunakan batik pada hari tersebut selain itu batikpun kini menjadi salah satu tren dikalangan anak muda dengan banyaknya barang-barang yang bercirikan khas batik mulai dari sandal batik,tas batik bahkan model rambut yang membentuk ukiran batik.
Tari Gambyong
Tari Gambyong adalah
Seni tari yang berasal dari Surakarta Jawa Tengah. Asal mula tari Gambyong ini
berdasarkan nama seorang penari jalanan (dalam
bahasa jawanya penari jalanan disebut tledek,
kadang terdengar kledek). Nama seorang penari ini adalah Gambyong.
Ia hidup pada zaman Sinuhun Paku BUwono ke IV di Surakarta Sekitar tahun 1788 –
1820. Gambyong ini dikenal sebagai seorang penari yang cantik dan bisa
menampilkan tarian yang cukup indah. Gambyong pun terkenal di seluruh wilayah
Surakarta kemudian terciptalah Tari Gambyong. Jadi
tari gambyong ini diambil dari Nama seorang Penari Wanita.
Tarian Gambyong ini merupakan salah satu jenis tari pergaulan di masyarakat. Seperti Tari Jaipong dari Jawa Barat yang juga merupakan tari pergaulan. Ciri khas dari pertunjukan tari gambyong ini adalah selalu dibuka atau di awali dengan gendhing pangkur sebelum tarian di mulai. Tari gambyong akan terlihat indah dan elok jika sang penari dapat menyelaraskan antara gerakan dan irama musik gendang. Karena, gendang sendiri umumnya disebut sebagai otot tarian dan pemandu gendhing.
dilengkapi dengan bonang dan gong. Galeman yang digunakan umumnya meliputi gong, kempul, kenong,
kendang, gender, dan penerus gender. Semua instrumen tersebut selalu dibawa kemana-mana dengan cara
dipikul
Perlu diketahui bahwa ada salah satu instrumen yang tampak
sederhana namun untuk memainkan bukanlah sesuatu yang mudah. yaitu Gendhang.
Untuk memainkan gendang yang baik, penabuh gendang atau pengendang harus mampu
jumbuh dengan keluwesan tarian, selain itu juga harus mampu berpadu dengan
irama gending. Wajar sekali jika sering terjadi dimana seorang penari gambyong
tidak dapat dipisahkan dari pengendang. Begitu pun sebaliknya, penabuh gendang
yang telah memahami gerak-gerik si penari gambyong pun juga akan mudah
memainkan gendang yang sesuai dengan penarigambyong
Rabu, 20 Februari 2013
Tokoh Bima (werkudara)
Arti
nama
Kata ''bhīma'' dalam bahasa Sanskerta artinya kurang lebih adalah "mengerikan".
Sedangkan nama lain Bima yaitu Wrekodara, dalam bahasa Sanskerta dieja Vrikodara,
artinya ialah "perut serigala", dan merujuk ke kegemarannya makan. Nama julukan yang
lain adalah Bhimasena yang berarti panglima
perang.
Kelahiran
Dalam wiracarita
Mahabharata
diceritakan bahwa karena Pandu tidak dapat membuat keturunan (akibat kutukan dari seorang resi di hutan), maka Kunti (istri Pandu) berseru kepada Bayu, dewa angin. Dari hubungan Kunti
dengan Bayu, lahirlah Bima. Atas anugerah dari Bayu, Bima akan menjadi orang
yang paling kuat dan penuh dengan kasih sayang.
Masa
muda
Pada masa kanak-kanak Pandawa
dan Kurawa,
kekuatan Bima tidak ada tandingannya di antara anak-anak sebayanya. Kekuatan
tersebut sering dipakai untuk menjahili para sepupunya, yaitu Korawa. Salah
satu Korawa yaitu Duryodana, menjadi sangat benci dengan sikap Bima yang selalu jahil.
Kebencian tersebut tumbuh subur sehingga Duryodana berniat untuk membunuh Bima.
Pada suatu hari ketika para Kurawa serta Pandawa
pergi bertamasya di daerah sungai Gangga,
Suyudana menyuguhkan makanan dan minuman kepada
Bima, yang sebelumnya telah dicampur dengan racun. Karena Bima tidak senang
mencurigai seseorang, ia memakan makanan yang diberikan oleh Duryodana. Tak
lama kemudian, Bima pingsan. Lalu tubuhnya diikat kuat-kuat oleh Duryodana
dengan menggunakan tanaman menjalar, setelah itu dihanyutkan ke sungai Gangga
dengan rakit. Saat rakit yang membawa Bima sampai di tengah sungai, ular-ular
yang hidup di sekitar sungai tersebut mematuk badan Bima. Ajaibnya, bisa ular
tersebut berubah menjadi penangkal bagi racun yang dimakan Bima. Ketika sadar,
Bima langsung melepaskan ikatan tanaman menjalar yang melilit tubuhnya, lalu ia
membunuh ular-ular yang menggigit badannya. Beberapa ular menyelamatkan diri
untuk menemui rajanya, yaitu Antaboga.
Saat Antaboga mendengar kabar bahwa
putera Pandu
yang bernama Bima telah membunuh anak buahnya, ia segera menyambut Bima dan
memberinya minuman, yang semangkuknya memiliki kekuatan setara dengan sepuluh
gajah.[2]
Lalu Bima meminumnya tujuh mangkuk, sehingga tubuhnya menjadi sangat kuat,
setara dengan tujuh puluh gajah. Bima tinggal di istana Naga Basuki selama
delapan hari, dan setelah itu ia pulang. Saat Bima pulang, Duryodana
kesal karena orang yang dibencinya masih hidup. Ketika para Pandawa
menyadari bahwa kebencian dalam hati Duryodana mulai bertunas, mereka mulai
berhati-hati.
Pendidikan
Pada usia remaja, Bima dan
saudara-saudaranya dididik dan dilatih dalam bidang militer oleh Drona. Dalam mempelajari senjata, Bima
lebih memusatkan perhatiannya untuk menguasai ilmu menggunakan gada, seperti Duryodana.
Mereka berdua menjadi murid Baladewa,
yaitu saudara Kresna yang sangat mahir dalam menggunakan senjata gada.
Dibandingkan dengan Bima, Baladewa lebih menyayangi Duryodana, dan Duryodana
juga setia kepada Baladewa. Kedua bersaudara sepupu ini bersekolah di
Universitas yang sama yaitu Universitas 'Dhurna'. Namun Bima memiliki
kecerdasan yang lebih dibandingkan Duryodana dalam menimba ilmu Gadha dari Rhsi
Dhurna. Kelak kedua sepupu ini akan bertempur habis-habisan di hari terakhir
perang bharatayudha.
Peristiwa
di Waranawata
Ketika Bima beserta ibu dan
saudara-saudaranya berlibur di Waranawata, ia dan Yudistira
sadar bahwa rumah penginapan yang disediakan untuk mereka, telah dirancang
untuk membunuh mereka serta ibu mereka. Pesuruh Duryodana,
yaitu Purocana, telah membangun rumah tersebut sedemikian rupa dengan bahan
seperti lilin sehingga cepat terbakar. Bima hendak segera pergi, namun atas
saran Yudistira mereka tinggal di sana selama beberapa bulan.
Pada suatu malam, Dewi Kunti mengadakan pesta dan seorang wanita
yang dekat dengan Purocana turut hadir di pesta itu bersama dengan kelima orang
puteranya. Ketika Purocana beserta wanita dan kelima anaknya tersebut tertidur
lelap karena makanan yang disuguhkan oleh Kunti, Bima segera menyuruh agar ibu
dan saudara-saudaranya melarikan diri dengan melewati terowongan yang telah
dibuat sebelumnya. Kemudian, Bima mulai membakar rumah lilin yang ditinggalkan
mereka. Oleh karena ibu dan saudara-saudaranya merasa mengantuk dan lelah, Bima
membawa mereka sekaligus dengan kekuatannya yang dahsyat. Kunti digendong di
punggungnya, Nakula
dan Sadewa
berada di pahanya, sedangkan Yudistira
dan Arjuna
berada di lengannya.[3]
Ketika keluar dari ujung terowongan,
Bima dan saudaranya tiba di sungai Gangga.
Di sana mereka diantar menyeberangi sungai oleh pesuruh Widura, yaitu menteri Hastinapura
yang mengkhwatirkan keadaan mereka. Setelah menyeberangi sungai Gangga, mereka
melewati Sidawata sampai Hidimbawana. Dalam
perjalanan tersebut, Bima memikul semua saudaranya dan ibunya melewati jarak
kurang lebih tujuh puluh dua mil. peristiwa ini dalam cerita pewayangan di
indonesia sering dikenal dengan lakon "bale sigolo-golo", yang
selanjutnya membuat para pandawa harus "ngenger" (dalam lakon pandawa
ngenger) dan bima berganti nama menjadi "jagal abilawa" dan beralih
profesi menjadi jagal.
Peristiwa
di Hidimbawana
Di Hidimbawana, Bima bertemu dengan Hidimbi/Arimbi
yang jatuh cinta dengannya. Kakak Hidimbi yang bernama Hidimba,
menjadi marah karena Hidimbi telah jatuh cinta dengan seseorang yang seharusnya
menjadi santapan mereka. Kemudian Bima dan Hidimba berkelahi. Dalam perkelahian
tersebut, Bima memenangkan pertarungan dan berhasil membunuh Hidimba dengan
tangannya sendiri. Lalu, Bima menikah dengan Hidimbi. Dari perkawinan mereka,
lahirlah seorang putera yang diberi nama Gatotkaca.
Bima dan keluarganya tinggal selama beberapa bulan bersama dengan Hidimbi dan
Gatotkaca, setelah itu mereka melanjutkan perjalanan. Bima juga mempunyai anak
dari Dropadi bernama Sutasoma, sedangkan anak dari pernikahannya
dengan Putri Balandhara dari Kerajaan Kashi adalah Sarwaga. Semua anak Bima gugur dalam Perang di Kurukshetra.
Pembunuh
Raksasa Baka
Setelah melewati Hidimbawana, Bima
dan saudara-saudaranya beserta ibunya tiba disebuah kota yang bernama Ekacakra. Di sana mereka menumpang di rumah
keluarga brahmana.
Pada suatu hari ketika Bima dan ibunya sedang sendiri, sementara keempat
Pandawa lainnya pergi mengemis, brahmana pemilik rumah memberitahu mereka bahwa
seorang raksasa yang bernama Bakasura
meneror kota Ekacakra. Atas permohonan penduduk desa, raksasa tersebut berhenti
mengganggu kota, namun sebaliknya seluruh penduduk kota diharuskan untuk
mempersembahkan makanan yang enak serta seorang manusia setiap minggunya. Kini,
keluarga brahmana yang menyediakan tempat tinggal bagi mereka yang mendapat
giliran untuk mempersembahkan salah seorang keluarganya. Merasa berhutang budi
dengan kebaikan hati keluarga brahmana tersebut, Kunti berkata bahwa ia akan
menyerahkan Bima yang nantinya akan membunuh raksasa Baka. Mulanya Yudistira
sangsi, namun akhirnya ia setuju.
Pada hari yang telah ditentukan,
Bima membawa segerobak makanan ke gua Bakasura.
Di sana ia menghabiskan makanan yang seharusnya dipersembahkan kepada sang
raksasa. Setelah itu, Bima memanggil-manggil raksasa tersebut untuk berduel
dengannya. Bakasura yang merasa dihina, marah lalu menerjang Bima. Seketika
terjadilah pertarungan sengit. Setelah pertempuran berlangsung lama, Bima
meremukkan tubuh Bakasura seperti memotong sebatang tebu. Lalu ia menyeret
tubuh Bakasura sampai di pintu gerbang Ekacakra. Atas pertolongan dari Bima,
kota Ekacakra tenang kembali. Ia tinggal di sana selama beberapa lama, sampai
akhirnya Pandawa
memutuskan untuk pergi ke Kampilya, ibukota Kerajaan Panchala, karena mendengar cerita mengenai Dropadi
dari seorang brahmana.
Bima
dalam Bharatayuddha
Dalam perang di Kurukshetra, Bima berperan sebagai komandan tentara Pandawa. Ia
berperang dengan menggunakan senjata gadanya yang sangat mengerikan.
Pada hari terakhir Bharatayuddha,
Bima berkelahi melawan Duryodana dengan menggunakan senjata gada. Pertarungan berlangsung
dengan sengit dan lama, sampai akhirnya Kresna mengingatkan Bima bahwa ia telah
bersumpah akan mematahkan paha Duryodana. Seketika Bima mengayunkan gadanya ke
arah paha Duryodana. Setelah pahanya diremukkan, Duryodana jatuh ke tanah, dan
beberapa lama kemudian ia mati. Baladewa marah hingga ingin membunuh Bima,
namun ditenangkan Kresna karena Bima hanya ingin menjalankan sumpahnya.
Bima
dalam pewayangan Jawa
Bima sebagai tokoh wayang Jawa.
Bima adalah seorang tokoh yang
populer dalam khazanah pewayangan Jawa. Suatu saat mantan presiden Indonesia, Ir. Soekarno,
pernah menyatakan bahwa ia sangat senang dan mengidentifikasikan dirinya mirip
dengan karakter Bima. Nama Sukarno sendiri berasal dari nama Karna, panglima yang memihak Kaurawa.
Sifat
Bima memiliki sifat gagah berani,
teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur, serta menganggap semua orang sama
derajatnya, sehingga dia digambarkan tidak pernah menggunakan bahasa halus (krama
inggil) atau pun duduk di depan lawan bicaranya. Bima melakukan kedua hal
ini (bicara dengan bahasa krama inggil dan duduk) hanya ketika menjadi
seorang resi
dalam lakon Bima Suci, dan ketika dia bertemu dengan Dewa Ruci. Ia
memiliki keistimewaan dan ahli bermain gada, serta memiliki berbagai macam
senjata, antara lain: Kuku Pancakenaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta. Sedangkan
jenis ajian yang dimilikinya antara lain: Aji Bandungbandawasa, Aji
Ketuglindhu, Aji Bayubraja dan Aji Blabak Pangantol-antol.
Bima juga memiliki pakaian yang
melambangkan kebesaran, yaitu: Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping
Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda dan Celana Cinde
Udaraga. Sedangkan beberapa anugerah Dewata
yang diterimanya antara lain: Kampuh atau Kain Poleng Bintuluaji, Gelang
Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan Pupuk Pudak Jarot Asem.
Dalam pencarian jatidirinya, bima
sering diberi tugas oleh gurunya (yang diminta oleh para kurawa untuk membunuh
bima) yang hampir tidak mungkin dikerjakan, tugas itu antara lain adalah
mencari kayu gung susuhing angin dan air banyu perwitasari, yang akhirnya
membawa bima bertemu dengan dewaruci
Peran Punakawan yang Luar Biasa
CONTOH LEADERSHIP PUNAKAWAN
ABDI KINASIH KESATRIA PENDHAWA LIMA
KI LURAH SEMAR BADRANAYA, NALA GARENG,
PETRUK KANTHONG BOLONG DAN KI LURAH BAGONG
“Tanggap ing sasmita dan Limpat Pasang ing Grahita, dan Cakra-Manggilingan”
ABDI KINASIH KESATRIA PENDHAWA LIMA
KI LURAH SEMAR BADRANAYA, NALA GARENG,
PETRUK KANTHONG BOLONG DAN KI LURAH BAGONG
“Tanggap ing sasmita dan Limpat Pasang ing Grahita, dan Cakra-Manggilingan”
“Pinangka mrih hamemayu hayuning bawana”
“Puna” atau “pana” dalam terminologi Jawa artinya memahami, terang, jelas, cermat,
mengerti, cerdik dalam mencermati atau mengamati makna hakekat di balik
kejadian-peristiwa alam dan kejadian dalam kehidupan manusia. Sedangkan kawan
berarti pula pamong atau teman. Jadi punakawan mempunyai makna yang
menggambarkan seseorang yang menjadi teman, yang mempunyai kemampuan
mencermati, menganalisa, dan mencerna segala fenomena dan kejadian alam serta
peristiwa dalam kehidupan manusia. Punakawan dapat pula diartikan seorang
pengasuh, pembimbing yang memiliki kecerdasan fikir, ketajaman batin,
kecerdikan akal-budi, wawasannya luas, sikapnya bijaksana, dan arif dalam
segala ilmu pengetahuan. Ucapannya dapat dipercaya, antara perkataan dan
tindakannya sama, tidaklah bertentangan. Khasanah budaya Jawa menyebutnya
sebagai “tanggap ing sasmita, lan limpat pasang ing grahita”. Dalam istilah
pewayangan terdapat makna sinonim dengan apa yang disebut wulucumbu yakni
rambut yang tumbuh pada jempol kaki. Keseluruhan gambaran karakter pribadi Ki
Lurah Semar tersebut berguna dalam upaya melestarikan alam semesta, dan
menciptakan kemakmuran serta kesejahteraan di bumi pertiwi.
Dalam cerita pewayangan Jawa, punakawan tersebut dibagi menjadi dua kelompok
yang masing-masing memiliki peranan yang sama sebagai penasehat spiritual dan
politik, namun masing-masing mengasuh tokoh yang karakternya saling
kontradiksi.
Kelompok Ki Lurah Semar Badranaya
Kelompok ini terdiri Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong (Sunda: Cepot).
Mereka menggambarkan kelompok punakawan yang jujur, sederhana, tulus, berbuat
sesuatu tanpa pamrih, tetapi memiliki pengetahuan yang sangat luas, cerdik, dan
mata batinnya sangat tajam. Ki Lurah Semar, khususnya, memiliki hati yang
“nyegoro” atau seluas samudra serta kewaskitaan dan kapramanan-nya sedalam
samudra. Hanya satria sejati yang akan menjadi asuhan Ki Lurah Semar. Semar
hakekatnya sebagai manusia setengah dewa, yang bertugas mengemban/momong para
kesatria sejati.
Ki Lurah Semar disebut pula Begawan Ismaya atau Hyang Ismaya, karena
eksistensinya yang teramat misterius sebagai putra Sang Hyang Tunggal umpama
dewa mangejawantah. Sedangkan julukan Ismaya artinya tidak wujud secara
wadag/fisik, tetapi yang ada dalam keadaan samar/semar. Dalam
uthak-athik-gathuk secara Jawa, Ki Semar dapat diartikan guru sejati (sukma
sejati), yang ada dalam jati diri kita. Guru sejati merupakan hakekat Zat
tertinggi yang terdapat dalam badan kita. Maka bukanlah hal yang muskil bila
hakekat guru sejati yang disimbolkan dalam wujud Ki Lurah Semar, memiliki
kemampuan sabda pendita ratu, ludahnya adalah ludah api (idu geni). Apa yang
diucap guru sejati menjadi sangat bertuah, karena ucapannya adalah kehendak
Tuhan. Para kesatria yang diasuh oleh Ki Lurah Semar sangat beruntung karena
negaranya akan menjadi adil makmur, gamah ripah, murah sandang pangan,
tenteram, selalu terhindar dari musibah.
Tugas punakawan dimulai sejak kepemimpinan Prabu Herjuna Sasrabahu di negeri
Maespati, Prabu Ramawijaya di negeri Pancawati, Raden Sakutrem satria
Plasajenar, Raden Arjuna Wiwaha satria dari Madukara, Raden Abimanyu satria
dari Plangkawati, dan Prabu Parikesit di negeri Ngastina. Ki Lurah Semar selalu
dituakan dan dipanggil sebagai kakang, karena dituakan dalam arti kiasan yakni
ilmu spiritualnya sangat tinggi, sakti mandraguna, berpengalaman luas dalam
menghadapi pahit getirnya kehidupan. Bahkan para Dewa pun memanggilnya dengan
sebutan “kakang”.
Kelompok punakawan ini bertugas :
1. Menemani (mengabdi) para bendhara (bos) nya yang memiliki karakter luhur
budi pekertinya. Tugas punakawan adalah sebagai “pembantu” atau abdi sekaligus
“pembimbing”. Tugasnya berlangsung dari masa ke masa.
2. Dalam cerita pewayangan, kelompok ini lebih sebagai penasehat spiritual, pamomong, kadang berperan pula sebagai teman bercengkerama, penghibur di kala susah.
3. Dalam percengkeramaannya yang bergaya guyon parikena atau saran, usulan dan kritikan melalui cara-cara yang halus, dikemas dalam bentuk kejenakaan kata dan kalimat. Namun di dalamnya selalu terkandung makna yang tersirat berbagai saran dan usulan, dan sebagai pepeling akan sikap selalu eling dan waspadha yang harus dijalankan secara teguh oleh bendharanya yang jumeneng sebagai kesatria besar.
4. Pada kesempatan tertentu punakawan dapat berperan sebagai penghibur selagi sang bendhara mengalami kesedihan.
5. Pada intinya, Ki Lurah Semar dkk bertugas untuk mengajak para kesatria asuhannya untuk selalu melakukan kebaikan atau kareping rahsa (nafsu al mutmainah). Dalam terminologi Islam barangkali sepadan dengan istilah amr ma’ruf.
2. Dalam cerita pewayangan, kelompok ini lebih sebagai penasehat spiritual, pamomong, kadang berperan pula sebagai teman bercengkerama, penghibur di kala susah.
3. Dalam percengkeramaannya yang bergaya guyon parikena atau saran, usulan dan kritikan melalui cara-cara yang halus, dikemas dalam bentuk kejenakaan kata dan kalimat. Namun di dalamnya selalu terkandung makna yang tersirat berbagai saran dan usulan, dan sebagai pepeling akan sikap selalu eling dan waspadha yang harus dijalankan secara teguh oleh bendharanya yang jumeneng sebagai kesatria besar.
4. Pada kesempatan tertentu punakawan dapat berperan sebagai penghibur selagi sang bendhara mengalami kesedihan.
5. Pada intinya, Ki Lurah Semar dkk bertugas untuk mengajak para kesatria asuhannya untuk selalu melakukan kebaikan atau kareping rahsa (nafsu al mutmainah). Dalam terminologi Islam barangkali sepadan dengan istilah amr ma’ruf.
Adapun watak kesatria adalah: halus, luhur budi pekerti, sabar, tulus, gemar
menolong, siaga dan waspada, serta bijaksana.
Kelompok Ki Lurah Togog
Kelompok ini terdiri tiga personil yakni: Ki Lurah Togog (Sarawita) dan
Mbilung. Punakawan ini bertugas menemani bendhara-nya yang berkarakter dur
angkara yakni para Ratu Sabrang. Sebut saja misalnya Prabu Baladewa di negeri
Mandura, Prabu Basukarna di negeri Ngawangga, Prabu Dasamuka (Rahwana) di
negeri Ngalengka, Prabu Niwatakawaca di negeri Iman-Imantaka dan beberapa
kesatria dari negara Sabrangan yang berujud (berkarakter) raksasa; pemarah,
bodoh, namun setia dalam prinsip. Lurah Togog disebut pula Lurah Tejamantri. Ki
Togog dkk secara garis besar bertugas mencegah asuhannya yang dur angkara,
untuk selalu eling dan waspadha, meninggalkan segala sifat buruk, dan semua
nafsu negatif. Beberapa tugas mereka antara lain:
1. Mereka bersuara lantang untuk selalu memberikan koreksi, kritikan dan
saran secara kontinyu kepada bendhara-nya.
2. Memberikan pepeling kepada bendhara-nya agar selalu eling dan waspadha
jangan menuruti kehendak nafsu jasadnya (rahsaning karep).
Gambaran tersebut sesungguhnya memproyeksikan pula karakter dalam diri
manusia (jagad alit). Sebagaimana digambarkan bahwa kedua kesatria di atas
memiliki karakter yang berbeda dan saling kontradiktori. Maknanya, dalam jagad kecil
(jati diri manusia) terdapat dua sifat yang melekat, yakni di satu sisi
sifat-sifat kebaikan yang memancar dari dalam cahyo sejati (nurulah) merasuk ke
dalam sukma sejati (ruhulah). Dan di sisi lain terdapat sifat-sifat buruk yang
berada di dalam jasad atau ragawi. Kesatria yang berkarakter baik diwakili oleh
kelompok Pendawa Lima beserta para leluhurnya. Sedangkan kesatria yang
berkarakter buruk diwakili oleh kelompok Kurawa 100. walaupun keduanya
masing-masing sudah memiliki penasehat punakawan, namun tetap saja terjadi
peperangan di antara dua kelompok kesatria tersebut. Hal itu menggambarkan
betapa berat pergolakan yang terjadi dalam jagad alit manusia, antara nafsu
negatif dengan nafsu positif. Sehingga dalam cerita pewayangan digambarkan
dengan perang Brontoyudho antara kesatria momongan Ki Lurah Semar dengan
kesatria momongan Ki Togog. Antara Pendawa melawan Kurawa 100. Antara nafsu
positif melawan nafsu negatif. Medan perang dilakukan di tengah Padhang
Kurusetra, yang tidak lain menggambarkan hati manusia.
Makna di Balik Simbol Punakawan
1. Ki Lurah Semar (simbol ketentraman dan keselamatan hidup)
Membahas Semar tentunya akan panjang lebar seperti tak ada titik akhirnya.
Semar sebagai simbol bapa manusia Jawa. Bahkan dalam kitab jangka Jayabaya, Semar
digunakan untuk menunjuk penasehat Raja-raja di tanah Jawa yang telah hidup
lebih dari 2500 tahun. Dalam hal ini Ki Lurah Semar tiada lain adalah Ki
Sabdapalon dan Ki Nayagenggong, dua saudara kembar penasehat spiritual
Raja-raja. Sosoknya sangat misterius, seolah antara nyata dan tidak nyata, tapi
jika melihat tanda-tandanya orang yang menyangkal akan menjadi ragu. Ki Lurah
Semar dalam konteks Sabdapalon dan Nayagenggong merupakan bapa atau Dahyang-nya
manusia Jawa. Menurut jangka Jayabaya kelak saudara kembar tersebut akan hadir
kembali setelah 500 tahun sejak jatuhnya Majapahit untuk memberi pelajaran
kepada momongannya manusia Jawa (nusantara). Jika dihitung kedatangannya
kembali, yakni berkisar antara tahun 2005 hingga 2011. Maka bagi para satria momongannya
Ki Lurah Semar ibarat menjadi jimat; mung siji tur dirumat. Selain menjadi
penasehat, punakawan akan menjadi penolong dan juru selamat/pelindung tatkala
para satria momongannya dalam keadaan bahaya.
Dalam cerita pewayangan Ki Lurah Semar jumeneng sebagai seorang Begawan,
namun ia sekaligus sebagai simbol rakyat jelata. Maka Ki Lurah Semar juga
dijuluki manusia setengah dewa. Dalam perspektif spiritual, Ki Lurah Semar
mewakili watak yang sederhana, tenang, rendah hati, tulus, tidak munafik, tidak
pernah terlalu sedih dan tidak pernah tertawa terlalu riang. Keadaan mentalnya
sangat matang, tidak kagetan dan tidak gumunan. Ki Lurah Semar bagaikan air
tenang yang menghanyutkan, di balik ketenangan sikapnya tersimpan kejeniusan,
ketajaman batin, kaya pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan. Ki Lurah Semar
menggambarkan figur yang sabar, tulus, pengasih, pemelihara kebaikan, penjaga
kebenaran dan menghindari perbuatan dur-angkara. Ki Lurah Semar juga dijuluki
Badranaya, artinya badra adalah rembulan, naya wajah. Atau Nayantaka, naya
adalah wajah, taka : pucat. Keduanya berarti menyimbolkan bahwa Semar memiliki
watak rembulan (lihat thread: Pusaka Hasta Brata). Dan seorang figur yang
memiliki wajah pucat, artinya Semar tidak mengumbar hawa nafsu. Semareka den
prayitna: semare artinya menidurkan diri, agar supaya batinnya selalu awas.
Maka yang ditidurkan adalah panca inderanya dari gejolak api atau nafsu
negatif. Inilah nilai di balik kalimat wani mati sajroning urip (berani mati di
dalam hidup). Perbuatannya selalu netepi kodrat Hyang Widhi (pasrah), dengan
cara mematikan hawa nafsu negatif. Sikap demikian akan diartikulasikan ke dalam
sikap watak wantun kita sehari-hari dalam pergaulan, “pucat’ dingin tidak mudah
emosi, tenang dan berwibawa, tidak gusar dan gentar jika dicaci-maki, tidak
lupa diri jika dipuji, sebagaimana watak Badranaya atau wajah rembulan.
Dalam khasanah spiritual Jawa, khususnya mengenai konsep manunggaling kawula
Gusti, Ki Lurah Semar dapat menjadi personifikasi hakekat guru sejati setiap
manusia. Semar adalah samar-samar, sebagai perlambang guru sejati atau sukma
sejati wujudnya samar bukan wujud nyata atau wadag, dan tak kasad mata.
Sedangkan Pendawa Lima adalah personifikasi jasad/badan yang di dalamnya
terdapat panca indera. Karena sifat jasad/badan cenderung lengah dan lemah,
maka sebaik apapun jasad seorang satria, tetap saja harus diasuh dan diawasi
oleh sang guru sejati agar senantiasa eling dan waspadha. Agar supaya
jasad/badan memiliki keteguhan pada ajaran kebaikan sang guru sejati. Guru
sejati merupakan pengendali seseorang agar tetap dalam “laku” yang tepat, pener
dan berada pada koridor bebener. Siapa yang ditinggalkan oleh pamomong Ki Lurah
Semar beserta Gareng, Petruk, Bagong, ia akan celaka, jika satria maka di
negerinya akan mendapatkan banyak malapetaka seperti : musibah, bencana, wabah
penyakit (pageblug), paceklik. Semua itu sebagai bebendu karena manusia
(satria) yang ditinggalkan guru sejati-nya telah keluar dari jalur bebener.
Jika ditinjau dari perspektif politik, kelompok Punakawan Ki Lurah Semar dan
anak-anaknya Gareng, Petruk, Bagong sebagai lambang dari lembaga aspirasi
rakyat yang mengemban amanat penderitaan rakyat. Atau semacam lembaga
legislatif. Sehingga kelompok punakawan ini bertugas sebagai penyambung lidah
rakyat, melakukan kritikan, nasehat, dan usulan. Berkewajiban sebagai
pengontrol, pengawas, pembimbing jalannya pemerintahan di bawah para Satria
asuhannya yakni Pendhawa Lima sebagai lambang badan eksekutif atau lembaga
pemerintah. Dengan gambaran ini, sebenarnya dalam tradisi Jawa sejak masa
lampau telah dikenal sistem politik yang demokratis.
2. Nala Gareng
Nala adalah hati, Gareng (garing) berarti kering, atau gering, yang berarti
menderita. Nala Gareng berarti hati yang menderita. Maknanya adalah perlambang
“laku” prihatin. Namun Nala Gareng diterjemahkan pula sebagai kebulatan tekad.
Dalam serat Wedhatama disebutkan gumeleng agolong-gilig. Merupakan suatu tekad
bulat yang selalu mengarahkan setiap perbuatannya bukan untuk pamrih apapun, melainkan
hanya untuk netepi kodrat Hyang Manon. Nala Gareng menjadi simbol duka-cita,
kesedihan, nelangsa. Sebagaimana yang tampak dalam wujud fisik Nala Gareng
merupakan sekumpulan simbol yang menyiratkan makna sbb:
Mata Juling:
Mata sebelah kiri mengarah keatas dan ke samping. Maknanya Nala Gareng
selalu memusatkan batinnya kepada Hyang Widhi.
Lengan Bengkok atau cekot/ceko :
Melambangkan bahwasannya manusia tak akan bisa berbuat apa-apa bila tidak
berada pada kodrat atau kehendak Hayng Widhi.
Kaki Pincang, jika berjalan sambil jinjit :
Artinya Nala Gareng merupakan manusia yang sangat berhati-hati dalam
melangkah atau dalam mengambil keputusan. Keadaan fisik nala Gareng yang tidak
sempurna ini mengingatkan bahwa manusia harus bersikap awas dan hati-hati dalam
menjalani kehidupan ini karena sadar akan sifat dasar manusia yang penuh dengan
kelemahan dan kekurangan.
Mulut Gareng :
Mulut gareng berbentuk aneh dan lucu, melambangkan ia tidak pandai bicara,
kadang bicaranya sasar-susur (belepotan) tak karuan. Bicara dan sikapnya serba
salah, karena tidak merasa percaya diri. Namun demikian Nala Gareng banyak
memiliki teman, baik di pihak kawan maupun lawan. Inilah kelebihan Nala Gareng,
yang menjadi sangat bermanfaat dalam urusan negosiasi dan mencari relasi, sehingga
Nala Gareng sering berperan sebagai juru damai, dan sebagai pembuka jalan untuk
negosiasi. Justru dengan banyaknya kekurangan pada dirinya tersebut, Nala
Gareng sering terhindar dari celaka dan marabahaya.
3. Petruk Kanthong Bolong
Ki Lurah Petruk adalah putra dari Gandarwa Raja yang diambil anak oleh Ki
Lurah Semar. Petruk memiliki nama alias, yakni Dawala. Dawa artinya panjang,
la, artinya ala atau jelek. Sudah panjang, tampilan fisiknya jelek. Hidung,
telinga, mulut, kaki, dan tangannya panjang. Namun jangan gegabah menilai,
karena Lurah Petruk adalah jalma tan kena kinira, biar jelek secara fisik
tetapi ia sosok yang tidak bisa diduga-kira. Gambaran ini merupakan pralambang
akan tabiat Ki Lurah Petruk yang panjang pikirannya, artinya Petruk tidak grusah-grusuh
(gegabah) dalam bertindak, ia akan menghitung secara cermat untung rugi, atau
resiko akan suatu rencana dan perbuatan yang akan dilakukan. Petruk Kanthong
Bolong, menggambarkan bahwa Petruk memiliki kesabaran yang sangat luas, hatinya
bak samodra, hatinya longgar, plong dan perasaannya bolong tidak ada yang
disembunyikan, tidak suka menggerutu dan ngedumel.
Dawala, juga menggambarkan adanya pertalian batin antara para leluhurnya di
kahyangan (alam kelanggengan) dengan anak turunnya, yakni Lurah Petruk yang
masih hidup di mercapada. Lurah Petruk selalu mendapatkan bimbingan dan
tuntunan dari para leluhurnya, sehingga Lurah Petruk memiliki kewaskitaan
mumpuni dan mampu menjadi abdi dalem (pembantu) sekaligus penasehat para
kesatria.
Petruk Kanthong Bolong wajahnya selalu tersenyum, bahkan pada saat sedang
berduka pun selalu menampakkan wajah yang ramah dan murah senyum dengan penuh
ketulusan. Petruk mampu menyembunyikan kesedihannya sendiri di hadapan para
kesatria bendharanya. Sehingga kehadiran petruk benar-benar membangkitkan
semangat dan kebahagiaan tersendiri di tengah kesedihan. Prinsip “laku” hidup
Ki Lurah Petruk adalah kebenaran, kejujuran dan kepolosan dalam menjalani
kehidupan. Bersama semua anggota Punakawan, Lurah Petruk membantu para kesatria
Pandhawa Lima (terutama Raden Arjuna) dalam perjuangannya menegakkan kebenaran
dan keadilan.
4. Bagong
Bagong adalah anak ketiga Ki Lurah Semar. Secara filosofi Bagong adalah
bayangan Semar. Sewaktu Semar mendapatkan tugas mulia dari Hyang Manon, untuk
mengasuh para kesatria yang baik, Semar memohon didampingi seorang teman.
Permohonan Semar dikabulkan Hyang Maha Tunggal, dan ternyata seorang teman
tersebut diambil dari bayangan Semar sendiri. Setelah bayangan Semar menjadi
manusia berkulit hitam seperti rupa bayangan Semar, maka diberi nama Bagong.
Sebagaimana Semar, bayangan Semar tersebut sebagai manusia berwatak lugu dan
teramat sederhana, namun memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Ia tahan
menanggung malu, dirundung sedih, dan tidak mudah kaget serta heran jika
menghadapi situasi yang genting maupun menyenangkan. Penampilan dan lagak Lurah
Bagong seperti orang dungu. Meskipun demikian Bagong adalah sosok yang tangguh,
selalu beruntung dan disayang tuan-tuannya. Maka Bagong termasuk punakawan yang
dihormati, dipercaya dan mendapat tempat di hati para kesatria. Istilahnya
bagong diposisikan sebagai bala tengen, atau pasukan kanan, yakni berada dalam
jalur kebenaran dan selalu disayang majikan dan Tuhan.
Langganan:
Postingan (Atom)