Rabu, 30 Januari 2013

SEJARAH PEWAYANGAN


wayang berasal dari kata wayangan yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang  di awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme
menyembah ‘hyang’, itulah inti-nya dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk upacara ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa’ agar panen berhasil atau pun agar desa terhindar dari segala di tahun (898 – 910) M
wayang sudah menjadi wayang purwa amun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang tertulis dalam prasasti balitung sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara terjemahan kasaran-nya kira-kira begini :
menggelar wayang untuk para hyang tentang bima sang kumara)
di jaman mataram hindu ini, ramayana dari india berhasil dituliskan dalam bahasa jawa kuna (kawi) pada masa raja darmawangsa, 996 – 1042 M mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas parwa dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna lalu arjuna wiwaha berhasil disusun oleh mpu kanwa di masa raja erlangga sampai di jaman kerajaan kediri dan raja jayabaya mpu sedah mulai menyusun serat bharatayuda yang lalu diselesaikan oleh mpu panuluh tak puas dengan itu saja, mpu panuluh lalu menyusun serat hariwangsa  dan kemudian serat gatutkacasraya menurut serat centhini, sang jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke rontal (daun lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali) di jaman awal majapahit wayang digambar di kertas jawi dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap satu ke tanah jawa kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu yang membuat ‘naik’-nya pamor tokoh ‘dewa’ yang kini ‘ditempatkan’ berada di atas ‘hyang’ abad duabelas sampai abad limabelas adalah masa ‘sekularisasi’ wayang tahap satu dengan mulai disusunnya berbagai mithos yang mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa abad limabelas adalah dimulainya globalisasi jawa tahap dua kini pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa terasa  dan pada awal abad keenambelas berdirilah kerajaan demak ( 1500 – 1550 M )
ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan dengan ajaran islam maka raden patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotongroyong wayang beber karya prabangkara (jaman majapahit) segera direka-ulang dibuat dari kulit kerbau yang (di wilayah kerajaan demak masa itu, sapi tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut hindu yang masih banyak agar tidak terjadi kerusuhan berthema sara . . .
gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disimping sunan bonang menyusun struktur dramatika-nya sunan prawata menambahkan tokoh raksasa dan kera dan juga menambahkan beberapa skenario cerita
raden patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan sunan kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan sunan kudus kebagian tugas men-dalang ‘suluk’ masih tetap dipertahankan, dan ditambah dengan greget saut dan adha-adha pada masa sultan trenggana bentuk wayang semakin dipermanis lagi mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan  (tadinya hanya digambarkan di kulit kerbau tipis) susuhunan ratu tunggal, pengganti sultan trenggana, tidak mau kalah dia ciptakan model mata liyepan dan thelengan
selain wayang purwa sang ratu juga memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keraton saja sementara untuk konsumsi rakyat jelata sunan bonang menyusun wayang damarwulan aman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru  wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang semakin ditata :
raja dan ratu memakai mahkota/topong rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai ditambahkan celana dan kain di jaman ini pula lah sunan kudus memperkenalkan wayang golek dari kayu sedang sunan kalijaga menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang gedog dengan demikian wayang gedog pun sudah mulai memasyarakat di luar keratin di masa mataram islam wayang semakin berkembang panembahan senapati menambahkan berbagai tokoh burung dan hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus sultan agung anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit pundak, siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk ‘nyempurit’ dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru :
cakil, tokoh raksasa bertubuh ramping yang sangat gesit dan cekatan  sultan agung anyakrakusuma, pengganti beliau, ikut menyumbang bentuk mata semakin diperbanyak
dan pada beberapa tokoh dibuat beberapa wanda (bentuk) setelah semua selesai dilaksanakan, diciptakan seorang tokoh baru raksasa berambut merah bertaji seperti kuku yang akhirnya disebut ‘buta prapatan’ atau ‘buta rambutgeni’  berbagai inovasi dan reka-ulang wayang masih terus berlangsung dari jaman mataram islam sampai jaman sekarang
a.l. dengan munculnya ide-ide ‘nyeleneh’ para dhalang berbagai peralatan elektronis mulai ikut berperan dalam tata panggung maupun perangkat gamelan  begitu pula dalam hal tata pakaian yang dikenakan  oleh ki dhalang, pesinden, maupun para juru karawitan
dalam hal skenario-nya pun senantiasa ada pergeseran sehingga kini sudah semakin sulit dihakimi  mana yang cerita ‘pakem’ dan mana ‘carangan’    (cerita tentang asal-usul semar, misalnya,     ada beberapa versi yang semuanya layak untuk dipelajari ) tapi siapa sih yang bisa disebut ‘berwenang menghakimi’ ? walau demikian, garis besar struktur dramatika-nya agaknya relatif tetap pathet nem, pathet sanga, lalu pathet manyura relatif standar dan tetap seperti juga mengenai inti filsafatnya sendiri : wayang adalah perlambang kehidupan kita sehari-hari

SEJARAH NEGARA PEWAYANGAN


RAJA-RAJA ASTINA
Astina (Jawa = Ngastina) atau lengkapnya adalah Astinapura adalah nama Negara dalam kisah Mahabharata yang menjadi sengketa antara keluarga Kurawa dengan keluarga Pandawa, sehingga mengakibatkan perang Baratayudha di Kurusetra dengan berbagai konflik yang menjadi latar belakangnya.

Kurawa dan Pandawa adalah keluarga dekat, satu bapak lain ibu yaitu dari bapak yang bernama Wiyasa. Wiyasa mengawini Dewi Ambiki (janda Prabu Citragada) tanpa melakukan hubungan suami istri. Melihat wajah Wiyasa yang buruk seketika Dewi Ambiki menutup mata sehingga kelak mempunyai anak dengan nama Drestarastra yang buta. Sedangkan Wiyasa yang mengawini Dewi Ambika (janda Prabu Citrawirya) juga tanpa melakukan hubungan suami istri, ketika melihat wajah Wiyasa wajah Dewi Ambika pucat sehingga kelak mempunyai anak dengan nama Pandu Dewanata berwajah pucat.

Yang menjadi Raja setelah Wiyasa adalah Pandu Dewanata karena Drestarastra buta. Konflik terjadi ketika kutuk Batara Guru terhadap Pandu yang menunggang Lembu Andini demi membahagiakan Madrim yang ngidam. Dalam kedukaan dan tekanan batin Pandu memanah sepasang kijang yang sedang berkasih-kasihan, ternyata jelmaan Resi suci Kamindana akibatnya ia pun dikutuk Resi Kamindana apabila berhubungan intim akan menemui ajalnya. Suatu ketika Pandu berhubungan intim dengan Madrim, dan saat itulah Batara Yamadipati (Dewa Kematian) mencabut nyawa Pandu. Oleh kesalahannya Madrim pun bunuh diri disamping suaminya.

OlehWiyasa, kekuasaanAstinadititipkankepadaPrabuDrestarastrasampaianak-anakPandudapatmemangkujabatanitu. Akan tetapiputraPrabuDrestarastrayaituKurawamenolak, dankelakakanterjadipertikaian yang tiadahenti.

Apabila dirunut maka silsilah Raja-raja Astina menurut Ensikopedi Wayang dapat di uraikan sebagai berikut :
  1. Prabu Bharata (keturunan ke 30 dari Sanghyang Dharma)
  2. Prabu XXX
  3. Prabu XXX
  4. Prabu Pratipa dengan permaisuri Dewi Sumanda lahirlah Sentanu
  5. Prabu Sentanu dengan permaisuri Dewi Gangga lahirlah Bhisma
  6. Prabu Citragada
  7. Prabu Citrawirya atau Wicitrawirya
  8. Wiyasa dengan gelar Prabu Kresna Dwipayana
  9. Prabu Pandu Dewanata
  10. Prabu Drestarastra
  11. Prabu Suyudana
  12. Prabu Yudistira
  13. Prabu Parikesit
  14. Prabu Yudayana
  15. Prabu Gendrayana
Apabila dikaitkan dengan kisah yang pernah saya posting terdahulu yaitu Satayojanagandhi. Setelah Palasara mendirikan kerajaan Gajahoya, kemudian membawa Wiyasa bertapa meninggalkan permaisurinya Durgandhini. Disisi lain, Prabu Sentanu yang ditinggalkan oleh Dewi Gangga sibuk mencari orang yang dapat menyusui Bhisma kecil. Ketika bertemu dengan Durgandhini, atas naluri keibuan karena putranya Wiyasa dibawa ayahnya Palasara bertapa, maka ia pun menyusui Bhisma.
Melihat kasih sayang Durgandhini kepada Bhisma seperti anakkya sendiri, maka Prabu Sentanu pun memperistrinya, tapi Durgandhini mengajukan syarat bahwa nanti yang jadi raja di Astina harus keturunannya. Syarat ini membuat Prabu Sentanu pusing tujuh keliling. Karena dharma baktinya kepada ayah tercinta yaitu Prabu Sentanu serta kebaikan ibu Durgandhini, Bhisma tidak kuasa untuk menolaknya. Bhisma sendiri yang menghadap ibu Durgandhini bahwa ia tidak punya keinginan menjadi Raja Astina. Dari perkawinan Prabu Sentanu dengan Durgandhini memperoleh anak 2 yaitu Citragada dan Citrawirya

Sayangnya kedua anak ini setelah menikah tidak panjang usianya, sehingga meninggalkan janda-janda (Ambiki dan Ambika). Pasrah oleh takdir, Durgandini menyerahkan kekuasaan Astini kepada Bhisma, yang lagi-lagi menolak dan menyarankan agar Kerajaan Astina dipegang oleh Wiyasa (putra Durgandhini dari Palasara)
Di Jawa Durgandhini ini disebut Dewi Setyawati.
Menurut Wikipedia
Hastinapura adalah sebuah kota dan Nagar Panchayat di distrik Meerut, Uttar Pradesh, negara bagian India. Hastinapura berasal dari kata Hasti (gajah) + Pura (kota). Banyak kejadian di kisah Mahabharata yang terjadi di Hastinapura. Pada masa kini, kota ini disebut Hastinapur, sebuah kota kecil yang terletak di Uttar Pradesh, jaraknya 120 km dari Delhi. Populasi sekitar 20.000 jiwa. Perjalanan ke sana dapat ditempuh dengan bus dari Meerut yang siap sedia dari jam 7 pagi sampai 9 malam. Jalanan bagus dan bersih dengan pemandangan hijau dan hamparan persawahan di kiri-kanan. Di sana terdapat objek wisata yang menarik untuk dikunjungi seperti Kuil Jain dan Taman Nasional Hastinapura.