wayang berasal dari kata wayangan
yaitu sumber ilham dalam menggambar wujud tokoh dan cerita sehingga bisa
tergambar jelas dalam batin si penggambar karena sumber aslinya telah hilang
di awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme
menyembah ‘hyang’, itulah inti-nya
dilakukan antara lain di saat-saat panenan atau taneman dalam bentuk upacara
ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa’ agar panen berhasil atau pun agar desa
terhindar dari segala di tahun (898 – 910) M
wayang sudah menjadi wayang purwa
amun tetap masih ditujukan untuk menyembah para sanghyang seperti yang tertulis
dalam prasasti balitung sigaligi mawayang buat hyang, macarita bhima ya kumara
terjemahan kasaran-nya kira-kira begini :
menggelar wayang untuk para hyang
tentang bima sang kumara)
di jaman mataram hindu ini, ramayana
dari india berhasil dituliskan dalam bahasa jawa kuna (kawi) pada masa raja
darmawangsa, 996 – 1042 M mahabharata yang berbahasa sansekerta delapan belas
parwa dirakit menjadi sembilan parwa bahasa jawa kuna lalu arjuna wiwaha
berhasil disusun oleh mpu kanwa di masa raja erlangga sampai di jaman kerajaan
kediri dan raja jayabaya mpu sedah mulai menyusun serat bharatayuda yang lalu
diselesaikan oleh mpu panuluh tak puas dengan itu saja, mpu panuluh lalu
menyusun serat hariwangsa dan kemudian serat gatutkacasraya menurut serat
centhini, sang jayabaya lah yang memerintahkan menuliskan ke rontal (daun
lontar, disusun seperti kerai, disatukan dengan tali) di jaman awal majapahit
wayang digambar di kertas jawi dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan
pakaian masa-masa awal abad sepuluh bisa kita sebut sebagai globalisasi tahap
satu ke tanah jawa kepercayaan animisme mulai digeser oleh pengaruh agama hindu
yang membuat ‘naik’-nya pamor tokoh ‘dewa’ yang kini ‘ditempatkan’ berada di
atas ‘hyang’ abad duabelas sampai abad limabelas adalah masa ‘sekularisasi’
wayang tahap satu dengan mulai disusunnya berbagai mithos yang mengagungkan
para raja sebagai keturunan langsung para dewa abad limabelas adalah dimulainya
globalisasi jawa tahap dua kini pengaruh budaya islam yang mulai meresap tanpa
terasa dan pada awal abad keenambelas berdirilah kerajaan demak ( 1500 –
1550 M )
ternyata banyak kaidah wayang yang
berbenturan dengan ajaran islam maka raden patah memerintahkan mengubah
beberapa aturan wayang yang segera dilaksanakan oleh para wali secara
gotongroyong wayang beber karya prabangkara (jaman majapahit) segera
direka-ulang dibuat dari kulit kerbau yang (di wilayah kerajaan demak masa itu,
sapi tidak boleh dipotong untuk menghormati penganut hindu yang masih banyak
agar tidak terjadi kerusuhan berthema sara . . .
gambar dibuat menyamping, tangan
dipanjangkan, digapit dengan penguat tanduk kerbau, dan disimping sunan bonang
menyusun struktur dramatika-nya sunan prawata menambahkan tokoh raksasa dan
kera dan juga menambahkan beberapa skenario cerita
raden patah menambahkan tokoh gajah
dan wayang prampogan sunan kalijaga mengubah sarana pertunjukan yang awalnya
dari kayu kini terdiri dari batang pisang, blencong, kotak wayang, dan gunungan
sunan kudus kebagian tugas men-dalang ‘suluk’ masih tetap dipertahankan, dan
ditambah dengan greget saut dan adha-adha pada masa sultan trenggana bentuk
wayang semakin dipermanis lagi mata, mulut, dan telinga mulai ditatahkan
(tadinya hanya digambarkan di kulit kerbau tipis) susuhunan ratu tunggal,
pengganti sultan trenggana, tidak mau kalah dia ciptakan model mata liyepan dan
thelengan
selain wayang purwa sang ratu juga
memunculkan wayang gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keraton saja
sementara untuk konsumsi rakyat jelata sunan bonang menyusun wayang damarwulan
aman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru wayang gedhog dan wayang
kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang
semakin ditata :
raja dan ratu memakai mahkota/topong
rambut para satria mulai ditata, memakai praba dan juga mulai ditambahkan
celana dan kain di jaman ini pula lah sunan kudus memperkenalkan wayang golek
dari kayu sedang sunan kalijaga menyusun wayang topeng dari kisah-kisah wayang
gedog dengan demikian wayang gedog pun sudah mulai memasyarakat di luar keratin
di masa mataram islam wayang semakin berkembang panembahan senapati menambahkan
berbagai tokoh burung dan hewan hutan dan rambut wayang ditatah semakin halus
sultan agung anyakrawati menambahkan unsur gerak pada wayang kulit pundak,
siku, dan pergelangan wayang mulai diberi sendi posisi tangan berbentuk
‘nyempurit’ dengan adanya inovasi ini muncul pula tokoh baru :
cakil, tokoh raksasa bertubuh
ramping yang sangat gesit dan cekatan sultan agung anyakrakusuma,
pengganti beliau, ikut menyumbang bentuk mata semakin diperbanyak
dan pada beberapa tokoh dibuat
beberapa wanda (bentuk) setelah semua selesai dilaksanakan, diciptakan seorang
tokoh baru raksasa berambut merah bertaji seperti kuku yang akhirnya disebut
‘buta prapatan’ atau ‘buta rambutgeni’ berbagai inovasi dan reka-ulang
wayang masih terus berlangsung dari jaman mataram islam sampai jaman sekarang
a.l. dengan munculnya ide-ide
‘nyeleneh’ para dhalang berbagai peralatan elektronis mulai ikut berperan dalam
tata panggung maupun perangkat gamelan begitu pula dalam hal tata pakaian
yang dikenakan oleh ki dhalang, pesinden, maupun para juru karawitan
dalam hal skenario-nya pun
senantiasa ada pergeseran sehingga kini sudah semakin sulit dihakimi mana
yang cerita ‘pakem’ dan mana ‘carangan’ (cerita tentang
asal-usul semar, misalnya, ada beberapa versi yang
semuanya layak untuk dipelajari ) tapi siapa sih yang bisa disebut ‘berwenang
menghakimi’ ? walau demikian, garis besar struktur dramatika-nya agaknya
relatif tetap pathet nem, pathet sanga, lalu pathet manyura relatif standar dan
tetap seperti juga mengenai inti filsafatnya sendiri : wayang adalah perlambang
kehidupan kita sehari-hari