TARI BEDOYO KETAWANG
Menurut kitab Wedhapradangga, pencipta tarian Bedhoyo Ketawang
adalah Sultan Agung (1613-1645) raja pertama terbesar dari kerajaan Mataram
bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut selatan yang juga disebut
Kanjeng Ratu Kidul. Sebelum tari ini diciptakan, terlebih dahulu Sultan Agung
memerintahkan para pakar gamelan untuk menciptakan sebuah gendhing yang
bernama Ketawang. Konon penciptaan gendhingpun menjadi sempurna setelah Sunan
Kalijaga ikut menyusunnya. Tarian Bedhoyo Ketawang tidak hanya dipertunjukan
pada saat penobatan raja yang baru tetapi juga pertunjukan setiap tahun
sekali bertepatan dengan hari penobatan raja atau "Tingalan Dalem
Jumenengan".
Bedhoyo Ketawang tetap dipertunjukkan pada masa pemerintahan Sri
Susuhunan Paku Buwana ke-XII (sekarang), hanya saja sudah terjadi pergeseran
nilai filosofinya. Pertunjukan Bedhoyo Ketawang sekarang telah mengalami
perubahan pada berbagai aspek, walapun bentuk
tatanan pertunjukannya masih mengacu pada tradisi ritual masa lampau. Namun
nilainya telah bergeser menjadi sebuah warisan budaya yang nilai seninya
dianggap patut untuk dilestarikan. Busana Tari Bedhoyo Ketawang
menggunakan Dodot Ageng dengan motif Banguntulak alas-alasan yang menjadikan
penarinya terasa anggun.
Gamelan yang mengiringinya pun sangat khusus yaitu gamelan
"Kyai Kaduk Manis" dan "Kyai Manis Renggo". Instrumen
alat gamelan yang dimainkan hanya beberapa yakni Kemanak, Kethuk, Kenong,
Kendhang Ageng, Kendhang Ketipung dan Gong Ageng. Istrumen-istrumen tersebut
selain dianggap khusus juga ada yang mempunyai nama keramat. Dua buah Kendang
Ageng bemama Kanjeng kyai Denok dan Kanjeng Kyai Iskandar, dua buah rebab
bemama Kanjeng Kyai Grantang dan Kanjeng Kyai Lipur serta sehuah Gong ageng
bernama Kanjeng Nyai Kemitir. Pertunjukan Bedhoyo Ketawang pada masa Sri
Susuhunan Paku Buwana XII kini diselenggarakan pada hari kedua bulan Ruwah
atau Sya'ban dalam Kalender Jawa.
Bedhaya Ketawang dapat diklasifikasikan pada tarian yang mengandung
unsur dan makna serta sifat yang erat hubungannya dengan :
(1) Adat Upacara(seremoni); (2) Sakral; (3) Religius; (4) tarian Percintaan
atau tari Perkawinan.
Adat Upacara
Bedhaya Ketawang jelas bukan suatu tarian yang untuk tontonan
semata-mata, karena hanya ditarikan untuk sesuatu yang khusus dan dalam
suasana yang resmi sekali. Seluruh suasana menjadi sangat khudus, sebab
tarian ini hanya dipergelarkan berhubungan berhubungan dengan peringatan
ulang tahun tahta kerajaan saja. Jadi tarian ini hanya sekali setahun
dipergelarkannya Selama tarian
berlangsung tiada hidangan keluar, juga tidakdibenarkan orang merokok.
Makanan, minuman atau pun rokok dianggap hanya akan mengurangi kekhidmatan
jalannya upacara adat yang suci ini.
Sakral
Bedhaya Ketawang ini dipandang sebagai suatu tarian ciptaan Ratunya seluruh mahluk halus. Bahkan di percaya bahwa
setiap kali Bedhaya Ketawang ditarikan, sang penciptanya
selalu hadir selalu hadir juga bahkan ikut menari. Tidak setiap orang dapat
melihatnya, hanya pada mereka yang peka indrawinya saja sang pencipta mampu
dilihat.Konon dalam latihan-latihan yang dilakukan, serig pula sang pencipta
ini terlihat membetul-betulkan kesalahan yang dibuat oleh para penari. Bila
mata orang awam tidak melihatnya, maka terkadang penari yang bersangkutan
saja yang merasakan kehadirannya. Ada
dugaan, bahwa semula Bedhaya ketawang itu adalah suatu tarian di candi-candi.
2.
Religius Segi religius dapat
diketahui dari kata-kata yang dinyanyikan oleh suarawatinya. Antara lain ada
yang berbunyi : …tanu astra kadya agni urube,
kantar-kantar …yen mati ngendi surupe, kyai?” (……kalau
mati kemana tujuannya, kyai?).
3.
Tari
Percintaan atau Tarian Perkawinan
Tari Bedhaya Ketawang melambangkan curahan
cinta asmara Kangjeng Ratu kepada Sinuhun Sultan Agung. Semuanya itu terlukis
dalam gerak-gerik tangan serta seluruh bagian tubuh, cara memegang sondher dan
lain sebagainya. Namun demikian cetusan segala lambang tersebut telah dibuat
demikian halusnya, hingga mata awam kadang-kadang sukar akan dapat
memahaminya. Satu-satunya yang jelas dan memudahkan dugaan tentang adanya
hubungan dengan suatu perkawinan ialah, bahwa semua penarinya dirias sebagai
lazimnya temanten/mempelai yang akan dipertemukan. Tentang hal kata-kata yang
tercantum dalam nyanyian yang mengiringi tarian, menunjukkan gambaran curahan
asmara Kangjeng Ratu, merayu dan mencumbu. Bila ditelaah serta
dirasakan,pemirsa yang mengerti kata-katanya, dianggap akan
mudah membangkitkan rasa birahi. Aslinya pergelaran ini berlangsung selama 2
1/2 jam. Tetapi sejak jaman Sinuhun Paku Buwana X diadakan pengurangan,
hingga akhirnya menjadi hanya 1 1/2 jam saja.Bagi mereka yang secara langsung
atau tidak langsung terlibat dalam kegiatan yang khudus ini berlaku suatu
kewajiban khusus. Sehari sebelum tarian ditarikan para anggota kerabat
Sinuhun menyucikan diri, lahir dan batin. Peraturan ini di masa-masa dahulu
masih ditaati benar. Walaupun dirasa sangat memberatkan dan meyusahkan, namun
berkat kesadaran dan ketaatan serta pengabdian pada keagungan Bedhaya
Ketawang yang khudus itu, segala peraturan tersebut dilaksanakan juga dengan
penuh rasa tulus dan ikhlas. Yang penting ialah, bahwa bagi mereka ini
Bedhaya Ketawang merupakan suatu karya pusaka yang suci. Untuk inilah mereka
semua mematuhi setiap peraturan tatacara yang berlaku.
Bagi para penari ada peraturan yang lebih
ketat lagi, sebab menurut adat yang dipercaya, mereka ini akan langsung
berhubungan dengan Sang Ratu Kidul. Karena itu mereka juga selalu harus dalam
keadaan suci, baik pada masa-masa latihan maupun pada waktu
pergelarannya.Sebagai telah dikemukakan di depan, Kangjeng ratu Kidul hanya
dapat dirasakan kehadirannya oleh mereka yang langsung disentuh atau
dipegang, bila cara menarinya masih kurang betul. Oleh karena itu, pada
setiap latihan yang diadakan pada hari-hari Anggarakasih (Selasa Kliwon),
setiap penari dan semua pemain gamelan beserta suarawatinya harus selalu
dalam keadaan suci.Persiapan-persiapan untuk suatu pergelaran Bedhaya
Ketawang harus dilakukan sebaik-baiknya, dengan sangat teliti. Bila ada yang merasa
menghadapi halangan bulanan, lebih baik tidak mendaftarkan diri dahulu. Di samping
sejumlah penari yang tersedia,diperlukan
penari-penari cadangan. Karena itu dipandang lebih bijaksana untuk
memilih penari-penari yang sudah cukup dewasa jiwanya, sehingga kekhusukan
dan ketekunan menarinya akan lebih dapat terjamin. Keseluruhannya hal ini
akan menambah keagungan suasana pagelaran nantinya.
Siapakah Pencipta Bedhoyo Ketawang ?
Pertanyaan ini timbul, karena orang mulai berpikir, mengapa Bedhaya
Ketawang itu dipandang demikian sucinya. Menurut tradisi, Bedhaya
Ketawang dianggap sebagai karya Kangjeng ratu Kidul Kencanasari,yang adalah Ratu mahluk halus seluruh pulau Jawa. Istananya di dasar Samudera . Pusat daerahnya adalah
Mancingan, Parangtritis, di wilayah Yogyakarta.
Tetapi
menurut R.T. Warsadiningrat (abdidalem niyaga Kraton Solo), sebenarnya
Kangjeng Ratu Kidul hanya menambahkan dua orang penari lagi, sehingga
sembilan orang, kemudian penari tersebut dipersembahkan kepada Raja
Mataram.Menurutnya penciptanya awal justru adalah Bathara Guru, pada tahun 167
M. Semula disusunlah satu rombongan, terdiri dari tujuh bidadari, untuk
menarikan tarian yang disebut “Lenggotbawa”. Iringan gamelannya awalnya hanya
lima macam; berlaras pelog, pathet lima, dan terdiri atas:
1.
gending - kemanak 2, laras jangga
kecil /manis penunggul;
2. kala - kendhang
3.
sangka - gong
4.
pamucuk - kethuk
5.
sauran - kenong.
Jika
demikian, maka Bedhaya Ketawang itu sifatnya Siwaistis dan umur Bedhaya
Ketawang sudah tua sekali, lebih tua daripada Kangjeng Ratu Kidul.Bahkan menurut
G.P.H. Kusumadiningrat, pencipta “lenggotbawa” adalah Bathara Wisnu, Tatkala
duduk di Balekambang. Tujuh buah permata yang indah-indah telah diciptanya
dan diubah wujudnya menjadi tujuh bidadari yang cantik jelita,yang
kemudian menari-nari mengitari Bathara Wisnu dengan arah memutar ke
kanan . Melihat hal ini sang Bathara sangat senang hatinya. Karena dewa
dianggap tidak pantas menoleh ke kanan dan ke kiri, maka diciptanyalah mata
yang banyak sekali jumlahnya, letaknya tersebar di seluruh tubuhnya.
Menurut Sinuhun Paku Buwana X,
Bedhaya Ketawang menggambarkan lambang cinta birahi Kangjeng Ratu Kidul pada
Panembahan Senapati. Segala geraknya melukiskan bujuk rayu dan cumbu birahi,
walaupun selalu dapat dielakkan oleh Sunuhun.bahkan Ratu Kidul lalu memohon,
agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di samudera dan bersinggasana di
Sakadhomas Bale Kencana, ( Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Ramawijaya
di dasar lautan.)
Namun Sinuhun tidak mau menuruti kehendak Kangjeng Ratu Kidul,
karena masih ingin mencapai “sangkan paran”.Selanjutnya begitu beliau
mau memperistri Kangjeng Ratu Kidul, konsewensinya secara turun
temurun. keturunannya yang bertahta di pulau
Jawa akan terikat janji dengan Kangjeng Ratu Kidul pada saat peresmian
kenaikan tahtanya.
Kangjeng Ratu Kidul sendirilah yang diminta datang di daratan untuk
mengajarkan tarian Bedhaya Ketawang pada penari-penari kesayangan Sinuhun.
Dan ini kemudian memang terlaksana. Pelajaran tarian ini diberikan setiap
hari Anggarakasih, dan untuk keperluan ini Kangjeng Ratu Kidul diperkirakan
akan hadir.
Gendhing yang dipakai untuk
mengiringi Beghaya Ketawang disebut juga Ketawang Gedhe. Gendhing ini tidak
dapat dijadikan gendhing untuk klenengan, karena resminya memang bukan gendhing, melainkan termasuk tembang gerong Gamelan iringannya,
sebagai telah diterangkan di depan, terdiri dari lima macam jenis: kethuk, kenong, kendhang,
gong dan kemanak. Dalam hal ini yang jelas sekali terdengar
ialah suara kemanaknya. Tarian yang diiringi dibagi menjadi tiga adegan (babak).
Anehnya, di tengah-tengah seluruh bagian tarian larasnya berganti ke slendro
sebentar (sampai dua kali), kemudian kembali lagi ke laras pelog, hingga
akhirnya. Pada bagian (babak) pertama diiringi sindhen Durma, selanjutnya
berganti ke Retnamulya. Pada saat
mengiringi jalannya penari keluar dan masuk lagi ke Dalem Ageng Prabasuyasa
alat gamelannya ditambah dengan rebab, gender gambang dan suling. Ini
semuanya dilakukan untuk menambah keselarasan suasana. Selama tarian
dilakukan sama sekali tidak digunakan keprak. Keluarnya
penari dari Dalem Ageng Prabasuyasa menuju ke Pendapa Ageng Sasanasewaka, dengan berjalan berurutan
satu demi satu. Mereka mengitari Sinuhun yang duduk di singgasana (dhampar).Demikian juga jalannya kembali ke dalam. Yang berbeda dengan kelaziman
tarian lain-lainnya, para penari Bedhaya Ketawang selalu mengitari Sinuhun,
sedang beliau duduk di sebelah kanan mereka (meng-“kanan”kan). Pada tarian
bedhaya atau serimpi biasa, penari-penari keluar-masuk dari sebelah kanan
Sinuhun, dan kembali melalui jalan yang sama.
Srimpi
Anglirmendhung
Ada lagi
satu tarian yang juga termasuk keramat, ialah Srimpi Anglirmendhung. Tarian
Srimpi ini diduga lebih muda daripada Bedhaya Ketawang. Kedua tarian ini ada
kemiripannya, bila ditilik dari:
a. MENDHUNG = awan;
Tempatnya di langit (=TAWANG)
b. Dipakainya kemanak
sebagai alat pengiring utama
c. Pelaksanaan tariannya juga dibagi menjadi 3 babak
Menurut R.T. Warsadiningrat,
Anglirmedhung ini digubah oleh
K.G.P.A.A.Mangkunagara
I. Semula terdiri atas tujuh penari, yang kemudian dipersembahkan kepada
Sinuhun Paku Buwana. Tetapi atas kehendak Sinuhun Paku Buwana IV tarian
inidirubah sedikit, menjadi Srimpi yang hanya terdiri atas empat penari saja
Namun begitu mengenai kekhudusan dan kekhidmatannya tiada bedanya
dengan Bedhaya Ketawang, meskipun dalam pergelarannya Srimpi Anglirmendhung
boleh dilakukan kapan saja dan di mana saja. Bedhaya Ketawang hanya stu kali
setahun dan hanya di dalam keraton, di tempat tertentu saja.
Bila akan ditinjau keistimewaan Bedhaya Ketawang, letaknya terdapat
dalam hal:
1. Pilihan hari untuk
pelaksanaannya, yaitu hanya pada haru Anggarakasih. Bukan
pada pergelaran resminya saja, melainkan juga pada latihan-latihannya.
2. Jalannya penari di
waktu keluar dan masuk ke Dalem Ageng. Mereka
selalu mengitari Sinuhun dengan arah menganan.
3. Pakaian
penari dan kata-kata dalam hafalan sindhenannya.
Pakaian: Mereka memakai
dodot banguntulak). Sebagai lapisan bawahnya dipakai cindhe kembang,
berwarna ungu, lengkap dengan pending bermata dan bunta. Riasan mukanya
seperti riasan temanten putri. Sanggulnya bokor mengkureb lengkap dengan
perhiasan-perhiasannya, yang terdiri atas: centhung, garudha mungkur, sisir
jeram saajar, cundhuk mentul dan memakai tiba dhadha (untaian rangkaian bunga
yang digantungkan di dada bagian kanan).
4. Kata-kata yang
mengalun dinyanyikan oleh suarawati jelas melukiskan rayuan yang dapat
merangsang rasa birahi. Dari situ dapat diperkirakan bahwa Bedhaya Ketawang
dapat juga digolongkan dalam “Tarian Kesuburan” di candi, yang inti sarinya
menggambarkan harapan untuk mempunyai keturunan yang banyak.
5. Gamelannya
berlaras pelog, tanpa keprak. Ini suatu pertanda bahwa Bedhaya Ketawang ini
termasuk klasik.
6.
Rakitan taridan nama peranannya berbeda-beda. Dalam
lajur permulaan sekali, kita lihat para penari duduk dan menari dalam urutan
tergambar dibawah in
Dalam melakukan peranan ini para penari disebut:
1. Batak
2. Endhel ajeg
3. Endhel weton
|
4. Apit ngarep
5. Apit mburi
6. Apit meneg
|
7. Gulu
8. Dhada
9. Boncit
|
Selama menari tentu saja susunannya tidak tetap,
melainkan berubah-rubah, sesuai dengan adegan yang dilambangkan. Hanya pada
penutup tarian mereka duduk berjajar tiga-tiga.
Dalam susunan semacam
inilah pergelaran Bedhaya Ketawang diakhiri, disusul dengan iringan untuk
kembali masuk ke Dalem Ageng, juga dengan cara mengitari dan menempatkan
Sinuhun di sebelah kanan mereka semua.
7. Bedhaya Ketawang juga dapat dihubungkan dengan
perbintangan. Kita perhatikan kata-kata yang dicantumkan dalam hafalan
nyanyian pesindennya. Di antaranya yang berbunyi:
Anglawat akeh rabine Susuhunan, nde,
Anglawat kathah garwane Susuhunan, nde,
SOSOTYA gelaring mega, Susuhunan
kadi Lintang kusasane.
(Dalam bahasa Indonesia kira-kira begini:
Dalam perlawatan Susuhunan
banyak menikah,
Dalam perlawatan Susuhunan banyak
permaisurinya,
Permata yang bertebaran di
langit yang membentang,
Susuhunan berkuasa, bak
bintang.)
Dalam hal ini kekuasaan Sinuhun
diumpamakan bintang.Sedikit catatan bolehlah ditambahlan, bahwa Jawa juga mengenal
perbintangan, dengan nama-namanya sendiri seperti: Lintang Luku, Lintang
Kukusan, Gemak Tarung, Panjer Rina, Panjer Sore (di antara anak-anak dahulu
bintang ini juga sering dinamakan “ting negara Landa”).
Di dalam lagu Jawa dikenal juga hafalan yang bunyinya:Irim-irim
Lanhjar Ngirim, Gubug Penceng anjog, wus manengah Prauke sang raden, Jaka
Belek Maluku ing Kali, lintang Bima Sekti, nitih Kuda Dhawuk. (Mijil)
Sakral
Bedhaya Ketawang ini dipandang sebagai suatu tarian ciptaan Ratu diantara
seluruh mahluk halus. Bahkan orang pun percaya bahwa setiap kali Bedhaya
Ketawang ditarikan, sang pencipta selalu hadir
selalu hadir juga serta ikut menari. Tidak setiap orang dapat melihatnya,
hanya pada mereka yang peka saja sang pencipta menampakkan diri.Konon dalam
latihan-latihan yang dilakukan, serig pula sang pencipta ini
membetul-betulkan kesalahan yang dibuat oleh para penari. Bila mata orang
awam tidak melihatnya, maka penari yang bersangkutan saja yang merasakan
kehadirannya.Dalam hal ini ada dugaan, bahwa semula Bedhaya ketawang itu
adalah suatu tarian di candi-candi.
KANGJENG RATU KIDUL
Siapakah sesungguhnya Kangjeng
Ratu Kidul itu ? Benarkah ada dalam kesungguhannya,
ataukah hanyadalam dongeng saja dikenalnya? Pertanyaan ini pantas timbul,
karena Kangjeng Ratu Kidul termasuk mahluk halus. Hidupnya di alam limunan,
dan sukar untuk dibuktikan dengan nyata. Pada umumnya orang mengenalnya hanya
dari tutur kata dan dari semua cerita atau kata orang ini, bila dikumpulkan
akan menjadi seperti berikut:
1. Menurut cerita umum, Kangjeng
Ratu Kidul pada masa mudanya bernama Dewi Retna Suwida, seorang putri dari
Pajajaran, anak Prabu Mundhingsari, dari istri yang bernama Dewi Sarwedi,
cucu Sang Hyang Suranadi, cicit Raja Siluman di Sigaluh. Layaklah bila sang
putri ini kemudian melarikan diri dari kraton dan bertapa di gunung Kombang. Selama bertapa ini sering nampak kekuatan gaibnya, dapat berganti rupa
dari wanita menjadi pria atau sebaliknya. Sang putri tidak bersuami (wadat)
dan menjadi ratu di antara mahluk seluruh pulau Jawa. Istananya di dasar
samudera Indonesia. Masalah ini tidak mengherankan, karena sang putri memang
mempunyai darah keturunan dari mahluk halus.
2. Diceritakan
selanjutnya, bahwa setelah menjadi ratu sang putri lalu mendapat julukan
Kangjeng Ratu Kidul malahan ada juga yang menyebutnya Nyira Kidul. Dan yang
menyimpang lagi adalah: Bok Lara Mas Ratu Kidul. Kata lara berasal dari rara,
yang berarti perawan (tidak kawin).
Dikisahkan, bahwa Dewi Retna
Suwida yang cantik tanpa tanding itu menderita sakit budhug (lepra). Untuk
mengobatinya harus mandi dan merendam diri di dalam suatu telaga, di pinggir
samudera.
Konon pada suatu hari, tatkala akan
membersihkan muka sang putri melihat bayangan mukanya di permukaan air. Terkejut
karena melihat mukanya yang rusak, sang putri lalu
terjun ke laut dan tidak kembali lagi ke daratan, dan hilanglah sifat
kemanusiaannya serta menjadi mahluk halus. Cerita lain lagi menyebutkan bahwa sementara orang ada
yang menamakannya Kangjeng Ratu Angin-angin.Sepanjang penelitian yang pernah
dilakukan dapat disimpulkan bahwa Kangjeng Ratu Kidul tidaklah hanya menjad
ratu mahluk halus saja melainkan juga menjadi pujaan penduduk daerah pesisir
pantai selatan, mulai dari daerah Yogyakarta sampai dengan Banyuwangi, hanya
terpisah oleh desa Danamulya yang merupakan daerah penduduk Kristen.Camat
desa Paga menerangkan bahwa daerah pesisirnya mempunyai adat bersesaji ke
samudera selatan untuk Nyi Rara Kidul. Sesajinya diatur di dalam rumah kecil
yang khusus dibuat untuk keperluan tersebut (sanggar). Juga pesisir selatan
Lumajang setiap tahun mengadakan korban kambing untuknya dan orang pun banyak
sekali yang datang,Tuan Welter, seorang warga Belanda yang dahulu menjadi
Wakil Ketua Raad Van Indie, menerangkan bahwa tatkala ia masih menjadi
kontrolor di Kepajen, pernah melihat upacara sesaji tahunan di Ngliyep, yang
khusus diadakan untuk Nyai Lara Kidul. Ditunjukkannya gambar (potret) sebuah
rumah kecil dengan bilik di dalamnya berisi tempat peraduan dengan sesaji
punjungan untuk Nyai Lara Kidul. Seorang perwira ALRI yang sering mengadakan
latihan di daerah Ngliyep menerangkan bahwa di pulau kecil sebelah timur
Ngliyep memang masih terdapat sebuah rumah kecil, tetapi kosong saja sampai
sekarang. Apakah rumah ini yang terlukis dalam gambar Tuan Welter, belumlah
dapat dipastikan.
seorang kenalan dari Malang
menyebutkan bahwa pada tahun 1955 pernah ada serombongan orang-orang yang
nenepi (pergi ke tempat-tempat sepi dan kramat) di pulau karang kecil,
sebelah timur Ngliyep. Seorang di antara mereka adalah
gurunya. Dengan cara tanpa busana mereka bersemadi di situ. Apa yang kemudian
terjadi ialah, bahwa sang guru mendapat kemben, tanpa diketahui dari siapa
asalnya. Yang dapat diceritakan ialah bahwa merasa melihat sebuah rumah emas
yang lampunya bersinar-sinar terang sekali.
3. Di Pacitan ada
keparcayaan larangan untuk memakai pakaian berwarna hijau gadung (hijau
lembayung), yang erat hubungannya dengan Nyai Lara Kidul. Bila ini dilanggar
orang akan orang akan mendapat bencana. Ini dibuktikan dengan terjadinya
suatu malapetaka yang menimpa suami-istri bangsa Belanda beserta 2 orang
anaknya. Mereka
bukan saja tidak percaya pada larangan tersebut, bahkan mengejek dan
mencemoohkan. Pergilah mereka ke pantai dengan berpakaian serba hijau.
Terjadilah sesuatu yang mengejutkan, karena tiba-tiba ombak besar datang dan
kembalinya ke laut sambil menyambar tiba-tiba menyambar keempat orang Belanda
tersebut di atas.
4. Seorang dhalang di
Blitar menceritakan bahwa di daerahnya sampai ke gunung Kelud masih ditaati
pantangan Kangjeng Ratu Kidul, ialah memakai baju hijau. Tak ada seorang pun
yang berani melanggarnya.
5. Sampai pada waktu akhir-akhir
ini orang masih mengenal apa yang disebit “lampor”, yaitu suatu hal yang yang
dipandang sebagaiperjalanan Kangjeng Ratu Kidul, yang naik kereta berkuda.
Suaranya riuh sekali, gemerincing bunyi genta-genta kecil dan suara angin
meniup pun membuat suasana menjadi seram. Orang
lalu berteriak “Lampor! Lampor! Lampor!”, sambil memukul-mukul apa saja yang
dapat dipukul, dengan maksud agar tidak ada pengiringnya yang ketinggalan
singgah di rumahnya, untuk mengganggu atau merasuki.
6. Menurut “penglihatan” seorang
pemimoin Teosofi, bangsa Amerika, Kangjeng Ratu Kidul bukan pria, bukan pula
wanita. Dan dikatakannya, bahwa Kangjeng Ratu Kidul dapat digolongkan sebagai
Dewi Alam, dalam hal ini Dewi Laut.
Di Jawa masih dikenal tiga jenis lainnya, ialah:
a. Disebelah timur
adalah Kangjeng Sunan Lawu, Dewa Gunung. Menurut ceritanya semula adalah Raden
Guntur, seorang putra keturunan Majapait yang meloloskan diri pada masa
jatuhnya Majapait, lari sampai ke puncak Lawu;
b. Disebelah barat di
gunung Merapi ialah Kangjeng Ratu Sekar Kedhaton. Tidak begitu dikenal
ceritanya.
c. Disebelah utara adalah
hutan Krendhawahana, dikuasai oleh Bathari Durga atau Sang Hyang Pramoni,
Dewi Hutan. Menurut mereka yang pernah melihatnya, wujudnya seperti reksesi.
Untuknya kraton selalu membuat sesji yang paling luar biasa, ialah
Maesalawung, karena Dewi ini yang dianggap sebagai penjaga negeri seisinya.
Maesalawung atau Rajaweda diberikan setiap bulan Rabingul-akhir,
padahari Senin atau Kamis yang terakhir. Sesaji diberiakan di Sitinggil. Do’a
yang dibaca adalah do’a Buda, sedang rapal yang diucapkan merupakan campuran
Jawa dan Arab Sesaji Maesalawung ini
adalah Bekakak, dibuat dari tepung,
berbentuk manusia lelaki dan perempuan, tidak berbusana;Badheg, arak yang dibuat dari siwalan atau
aren, semangkuk;
Hajad ini dibawa ke hutan Krendhawahana, diletakkan di pinggir sumur
Gumuling.Yang diperintah membawanya adalah abdi dalem Suranata, ialah abdi
dalem yang tergolong para mutihan (ulama) yang berdiri sendiri dengan
kewajiban:
a. mamberi
sesaji sebelum suatu upacara diadakan demi keselamatan negeri seisinya.
b. mancari dan
memperhitungkan hari atau waktu yang baik untuk suatu kepeluan, langsung
disampaikan kepada Sinuhun, tanpa melalui penghulu. Ini suatu sisa adat
kerajaan bagian keagamaan.
Kesimpulan mengenai Kangjeng Ratu Kidul ialah, bahwa adanya bukanlah
hanya dalam dongeng atau tahayul saja. Ini adalah hal yang nyata ada, tetapi
yang tidak termasukdalam alam manusiawi, melainkan dalam alam limunan (alam
Mahluk halus). Ia bukan di dalam alam kita, manusia biasa. Yang dapat
menerobos alamnya hanya manusiatama seperti Wong Agung Ngeksi Ganda saja,
ialah yang dapat menguasai kedua alam, baik alam manusia maupun alam mahluk
halus. Dua alam yang melambangkan suatu dwitunggal yang suci.
- Dodot banguntulak adalah kain
panjang berwarna dasar biru tua, dengan warna putih di bagian tengah.
- Buntal adalah untaian daun
pandan, puring dan beberapa macam lainnya diselingi bunga-bungaan.
Dalam melaksanakan tugasnya para penari Bedhoyo Ketawang yang
berjumlah sembilan orang penari putri ini harus dalam keadaan bersih secara
spritual (tidak dalam keadaan haid). Selain itu beberapa hari sbelumnya para
penari diwajibkan untk berpuasa. Komposisi penari Bedboyo Ketawang terdiri
dari, Endhel, Pembatak, Apit Najeng, Apit Wingking, Gulu, Enhel Weton, Apit
Meneng, Dadha dan Buncit. Dari ke sembilan penari tersebut, Pembatak dan
Endhel sangat memegang peranan panting Pada salah satu adegan, kedua penari
ini melakukan adegan percintaan. Ditelaah dari syair yang dilantunkan oleh
Sindhen dan Waranggana, tari Bedhaya Ketawang ini menggambarkan percintaan
antara raja Mataram dengan Kanjeng Ratu Kencanasari/Kidul. Hanya saja
semuanya diwujudkan secara abstrak dan sangat simbolis. Karena pertunjukan
tari Bedhoyo Ketawang bertujuan mereaktualisasikan hubungan cinta secara spiritual
antara Raja Mataram dengan Ratu Kencanasari maka kebanyakan sesaji yang
ditempatkan di atas beberapa nampan berupa busana serta alat-alat kecantikan.
Selain tarian yang sakral diatas Kraton Kasunanan/Pakubuwono juga
menciptakan tarian lain misalnya: Tari Srimpi, yaitu tarian yang
menggambarkan perang tanding dua kesatria.
Macam-macam srimpi : Srimpi
padelori, Andong-andong, Arjuno Mangsah, Dhempel Sangopati, Elo-elo, Dempel,
Gambir sawit, Muncar, Gandokusumo, Srimpi lobong (Jaman PB IX, 1774) dll.
Tari Serimpi
Sangopati
TARIAN KARYA : SINUHUN PAKUBUWONO IX
Tarian srimpi sangopati karya Pakubuwono IX ini, sebenarnya merupakan
tarian karya Pakubuwono IV yang memerintah Kraton Surakarta Hadiningrat pada
tahun 1788-1820 dengan nama Srimpi sangopati kata sangapati itu sendiri
berasal dari kata “sang apati” sebuah sebutan bagi calon pengganti raja.
Ketika Pakubuwono IX memerintah
kraton Surakarta Hadiningrat pada tahun 1861-1893, beliau berkenaan merubah
nama Sangapati menjadi Sangupati.
Hal ini dilakukan berkaitan dengan suatu peristiwa yang terjadi di
masa pemerintahan beliau yaitu pemerintah Kolonial Belanda memaksa kepada
Pakubuwono IX agar mau menyerahkan tanah pesisir pulau Jawa kepada Belanda.
Disaat pertemuan perundingan masalah tersebut Pakubuwono IX menjamu para tamu
Belanda dengan pertunjukan tarian srimpi sangopati
Sesungguhnya sajian tarian srimpi tersebut tidak hanya dijadikan
sebagai sebuah hiburan semata, akan tetapi sesungguhnya sajian tersebut
dimaksudkan sebagai bekal bagi kematian Belanda, karena kata sangopati itu
berarti bekal untuk mati. Oleh sebab itu pistol-pistol yang dipakai untuk
menari sesungguhnya diisi dengan peluru yang sebenarnya. Ini dimaksudkan
apabila kegagalan, maka para penaripun telah siap mengorbankan jiwanya. Maka
ini tampak jelas dalam pemakaian “sampir” warna putih yang berarti kesucian
dan ketulusan.Pakubuwono IX terkenal sebagai raja amat berani dalam menentang
pemerintahan Kolonial Belanda sebagai penguasa wilayah Indonesia ketika itu.
Sebetulnya sikap berani menentang Belanda dilandaskan atas peristiwa
yang menyebabkan kematian ayahnya yaitu Pakubuwono VI (pahlawan nasional
Indonesia) yang meninggal akibat hukuman mati ditembak Belanda saat menjalani
hukuman dibuang keluar pulau Jawa saat Pakubuwono VI meninggal Pakubuwono IX
yang seharusnya menggantikan menjadi raja saat itu masih berada didalam
kandungan ibunda prameswari GKR Ageng disebabkan masih dalam kandungan usia 3
bulan maka setelah Pakubuwono ke VI meninggal yang menjadi raja Pakubuwono
VII adalah paman Pakubuwono IX ketika Pakubuwono VII meninggal yang
menggantikan kedudukan sebagai raja adalah paman Pakubuwono IX sebagai Pakubuwono
VII. Baru setelah Pakubuwono VIII meninggal Pakubuwono menuruskan IX
meneruskan tahta kerajaan ayahandanya Pakubuwono VI sebagai raja yang ketika
itu beliau berusia 31 tahun.
Setelah Pakubuwono IX meninggal 1893 dalam usia 64 tahun beliau
digantikan putranya Pakubuwono X atas kehendak Pakubuwono X inilah tarian
Srimpi Sangupati yang telah diganti nama oleh ayahanda Pakubuwono IX
menjadi srimpi Sangapati , dengan maksud agar semua perbuatan maupun
tingkah laku manusia hendaknya selalu ditunjukkan untuk menciptakan dan
memelihara keselamatan maupun kesejahteraan bagi kehidupan. Hal ini nampak
tercermin dalam makna simbolis dari tarian srimpi sangopati yang sesungguhnya
menggambarkan dengan jalan mengalahkan hawa nafsu yang selalu menyertai
manusia dan berusaha untuk saling menang menguasai manusia itu sendiri.
Salah satu kekayaan Keraton kasunanan Surakarta ini tengah diupayakan
konservasinya adalah berbagai jenis tarian yang sering menghiasi dan menjadi
hiburan pada berbagai acara yang digelar di lingkungan keraton. Dari berbagai
jenis tarian tersebut yang terkenal sampai saat ini adalah tari Serimpi
Sangupati. Penamaan Sangupati sendiri ternyata merupakan salah satu bentuk
siasat dalam mengalahkan musuh.
Tarian ini sengaja di tarikan
sebagai salah satu bentuk politik untuk menggagalkan perjanjian yang
akan diadakan dengan pihak Belanda pada masa itu. Hal ini dilakukan untuk
mengantisipasi agar pihak keraton tidak perlu melepaskan daerah pesisir
pantai utara dan beberapa hutan jati yang ada, jika perjanjian dimaksudkan
bisa digagalkan.
Tarian Serimpi Sangaupati sendiri merupakan tarian yang dilakukan 4
penari wanita dan di tengah-tengah tariannya dengan keempat penari tersebut
dengan keahliannya kemudian memberikan minuman keras kepada pihak Belanda
dengan memakai gelek inuman.
Ternyata taktik yang dipakai saat sangat efektif, setidaknya bisa
mengakibatkan pihak Belanda tidak menyadari kalau dirinya dikelabui. Karena
terlanjur terbuai dengan keindahan tarian ditambah lagi dengan semakin
banyaknya minuman atau arak yang ditegak maka mereka (Belanda) kemudian
mabuk. Buntutnya, perjanjian yang sedianya akan diadakan akhirnya berhasil
digagalkan. Dengan gagalnya perjanjian tersebut maka beberapa daerah yang
disebutkan diatas dapat diselamatkan.
Namun demikian yang perlu digarisbawahi dalam tarian ini adalah
keberanian para prajurit puteri tersebut yang dalam hal ini diwakili oleh
penari serimpi itu. Karena jika siasat itu tercium
oleh Belanda, maka yang akan menjadi tumbal pertama adalah mereka para penari
tersebut.
Boleh dibilang mereka adalah prajurit di
barisan depan yang menjadi penentu berhasil dan tidaknya misi menggagalkan
perjanjian tersebut. Sehingga untuk mengaburkan misi sebenarnya yang ada
dalam tarian tersebut maka nama tari itu disebut dengan Serimpi Sangaupati
yang diartikan sebagai sangu pati.
Saat ini Serimpi Sangaupati masih sering
ditarikan, namun hanya berfungsi sebagai sebuah tarian hiburan saja. Dan
adegan minum arak yang ada dalam tari tersebut masih ada namun hanya
dilakukan secara simbol; saja, tidak dengan arak yang sesungguhnya.
Perjanjian antara Keraton Kasunanan Surakarta dengan pihak Belanda
tersebut yang terjadi sekitar tahun 1870-an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar