Budaya Jawa memiliki
ciri yang khas yang terletak pada kemampuan luar biasa kebuadayaan Jawa untuk
membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari
luar dan dalam namun masih mampu mempertahankan keasliannya. Kebudayaan Jawa justru
tidak menemukan diri dan berkembang kekhasannya dalam isolasi, melainkan dalam
pencernaan masukan-masukan kultural dari luar.
Keunggulan budaya Jawa dalam bertanding dengan kultur lain terletak pada keseimbangan berolah rasa, olah jiwa dan olah pikir.
Tripartite olah rasa-jiwa-pikir itu, menjiwai seluruh rangkaian lelaku bagi wong Jawa tulen. Impact langsungnya, kearifan jiwa dan kerendahan hati seorang Jawa terselubung dalam segala keputusan intelektualnya.
Nilai dan etika Jawa sebagai bagian dari kebudayaan Jawa merupakan sebuah tuntunan bagi setiap individu dalam masyarakat Jawa bagaimana seharusnya menjalankan kehidupannya. Nilai dan etika Jawa berbentuk prinsip hidup yang dipegang erat oleh semua orang Jawa. Adapun nilai dan etika yang dimaksud antara lain : prinsip rukun, prinsip hormat, tepa selira, nrimo ing pandum, sepi ing pamrih rame ing gawe memayu hayuning bawana, ajining diri soko lathi ajining rogo soko toto, sura dira jayadiningrat lebur dening pangastuti dan sebagainya.
Di kehidupan sekarang ini yang serba modern, orang semakin meninggalkan diri dari kebudayaan Jawa. Mereka bangga dengan budaya barat dan menganggap remeh budaya Jawa. Bila hal ini dibiarkan terus menerus maka sangat mengkhawatirkan, maka siapa yang akan mewarisi dan melestarikan budaya Jawa. Lalu bagaimana juga dengan nilai dan etika Jawa masih relevankah dengan dunia modern saat ini. Hal ini sangat menarik karena budaya Jawa justru mampu mempertahankan keasliannya ditengah gelombang modernisasi dan globalisasi.
Memudarnya kecintaan terhadap budaya lokal menjadi momok Indonesia yang tak kunjung berhenti. Akan tetapi, hanya segelintir orang yang merasa cemas akan adanya fenomena tersebut. Bahkan ada saja yang sekelompok orang yang sudah menganggap budaya lokal sudah tidak relevan dengan kemajuan globalisasi.
Budaya Jawa telah hilang rohnya sebagai dampak benturan budaya sekuleristis nan menghedonistis. Fenomena memudarnya budaya Jawa dapat dilihat dari sudut pandang perilaku konsumerisme, menurunnya jumlah rumah ala Joglo yang sebenarnya tahan gempa dan bagaimana fungsi hukum adat yang tergerus relevansi global.
Budaya belanja mempunyai dampak negatif terhadap pertumbuhan budaya Jawa. Di lain sisi pemenuhan kebutuhan, tindak tanduk belanja juga memfokuskan pada prestise dan gaya hidup ke-British-an. Dan hasilnya adalah fenomena yang bertentangan dengan pepatah Jawa ’Melok Nanging Ojo Nyolok’.
Ke-doyan-an masyarakat Jawa untuk berbelanja faktor yang mempengaruhi budaya Jawa. Apalagi ketika berbelanja di toko yang menjajakan jajanan produk luar negeri. Buktinya, semenjak baju ’full-press body’ populer, jarik atau blangkon semakin terpinggirkan. Kesukaan mengenakan pakaian yang full press body ini sangat bertentangan dengan nilai ajining raga soko tata, dimana orang Jawa sangat menjunjung tinggi kesopanan namun yang terjadi saat ini kaum muda lebih bangga jika mereka mampu menampilkan keindahan tubuh mereka yang dalam pandangan Jawa hal itu adalah tabu atau saru. Budaya belanja atau tindak konsumtif lainnya yang ada sekarang ini menyiratkan akan adanya sebuah keretakan budaya Jawa.
Berkurangnya jumlah rumah joglo sebagai jagad cilik dan berganti dengan model rumah yang bernuansa modern adalah fenomena kedua yang menyebabkan memudarnya budaya Jawa. Padahal rumah joglo lebih kokoh dan anti gempa dibanding rumah modern karena rumah Jawa memiliki soko guru sebagai tiang penopang yang diselaraskan dengan situasi alam.
Dibidang hukum, terlihat adanya hilangnya peran hukum yang disebabkan karena pemaksaan kehendak penguasa dan tergerus arus globalisasi serta penyesuaian hukum-hukum adat dengan hukum internasional. Ketiga aspek yang mengindikasikan memudarnya budaya Jawa ini merupakan akibat dari merosotnya nilai filsafat Jawa yaitu memayu hayuning bawana. Sebuah nilai filsafat yang memuat nilai persaudaraan, hormat kepada sesama dan alam sekitar, dan menjaga keseimbangan hidup yang mulai ditinggalkan kaum muda jaman sekarang.
Lalu apakah semua nilai, etika dan budaya Jawa memudar. Tentunya tidak, karena masih ada nilai, etika dan budaya Jawa yang masih tetap dilestarikan hingga sekarang ini antara lain prinsip rukun dan prinsip hormat masih dipertahankan sampai saat ini.
Prinsip rukun dan hormat adalah dua prinsip dasar dalam kehidupan masyarakat Jawa yang tertanam sangat kuat karena diajarkan dalam keluarga. Setiap individu diajarkan untuk senantiasa bertindak rukun dan hormat pada sesamanya. Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis.
Prinsip hormat mengajarkan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing pihak meresapi seluruh kehidupan orang Jawa.
Lalu bagaimana supaya nilai, etika dan budaya Jawa bisa bertahan dan eksis dikalangannya sendiri. Ini adalah pekerjaan rumah yang besar bagi setiap individu dalam masyarakat Jawa. Cukup dengan menggabungkan keseimbangan dalam berolah pikir, jiwa dan rasa pada setiap insan
(Tripartite olah rasa-jiwa-pikir) telah mampu memposisikan keandalan budaya Jawa, tetap akan eksis dalam konstelasi budaya global. bahkan saat inibatik yang telah diakui oleh unesco menjadi kebudayaan asli indonesia telah menjadi kebanggaan tersendiri oleh masyarakat inndonesianya dimana pada hari tertentu (jumat) para menteri/ pegawai pemerintah selalu menggunakan batik pada hari tersebut selain itu batikpun kini menjadi salah satu tren dikalangan anak muda dengan banyaknya barang-barang yang bercirikan khas batik mulai dari sandal batik,tas batik bahkan model rambut yang membentuk ukiran batik.
Keunggulan budaya Jawa dalam bertanding dengan kultur lain terletak pada keseimbangan berolah rasa, olah jiwa dan olah pikir.
Tripartite olah rasa-jiwa-pikir itu, menjiwai seluruh rangkaian lelaku bagi wong Jawa tulen. Impact langsungnya, kearifan jiwa dan kerendahan hati seorang Jawa terselubung dalam segala keputusan intelektualnya.
Nilai dan etika Jawa sebagai bagian dari kebudayaan Jawa merupakan sebuah tuntunan bagi setiap individu dalam masyarakat Jawa bagaimana seharusnya menjalankan kehidupannya. Nilai dan etika Jawa berbentuk prinsip hidup yang dipegang erat oleh semua orang Jawa. Adapun nilai dan etika yang dimaksud antara lain : prinsip rukun, prinsip hormat, tepa selira, nrimo ing pandum, sepi ing pamrih rame ing gawe memayu hayuning bawana, ajining diri soko lathi ajining rogo soko toto, sura dira jayadiningrat lebur dening pangastuti dan sebagainya.
Di kehidupan sekarang ini yang serba modern, orang semakin meninggalkan diri dari kebudayaan Jawa. Mereka bangga dengan budaya barat dan menganggap remeh budaya Jawa. Bila hal ini dibiarkan terus menerus maka sangat mengkhawatirkan, maka siapa yang akan mewarisi dan melestarikan budaya Jawa. Lalu bagaimana juga dengan nilai dan etika Jawa masih relevankah dengan dunia modern saat ini. Hal ini sangat menarik karena budaya Jawa justru mampu mempertahankan keasliannya ditengah gelombang modernisasi dan globalisasi.
Memudarnya kecintaan terhadap budaya lokal menjadi momok Indonesia yang tak kunjung berhenti. Akan tetapi, hanya segelintir orang yang merasa cemas akan adanya fenomena tersebut. Bahkan ada saja yang sekelompok orang yang sudah menganggap budaya lokal sudah tidak relevan dengan kemajuan globalisasi.
Budaya Jawa telah hilang rohnya sebagai dampak benturan budaya sekuleristis nan menghedonistis. Fenomena memudarnya budaya Jawa dapat dilihat dari sudut pandang perilaku konsumerisme, menurunnya jumlah rumah ala Joglo yang sebenarnya tahan gempa dan bagaimana fungsi hukum adat yang tergerus relevansi global.
Budaya belanja mempunyai dampak negatif terhadap pertumbuhan budaya Jawa. Di lain sisi pemenuhan kebutuhan, tindak tanduk belanja juga memfokuskan pada prestise dan gaya hidup ke-British-an. Dan hasilnya adalah fenomena yang bertentangan dengan pepatah Jawa ’Melok Nanging Ojo Nyolok’.
Ke-doyan-an masyarakat Jawa untuk berbelanja faktor yang mempengaruhi budaya Jawa. Apalagi ketika berbelanja di toko yang menjajakan jajanan produk luar negeri. Buktinya, semenjak baju ’full-press body’ populer, jarik atau blangkon semakin terpinggirkan. Kesukaan mengenakan pakaian yang full press body ini sangat bertentangan dengan nilai ajining raga soko tata, dimana orang Jawa sangat menjunjung tinggi kesopanan namun yang terjadi saat ini kaum muda lebih bangga jika mereka mampu menampilkan keindahan tubuh mereka yang dalam pandangan Jawa hal itu adalah tabu atau saru. Budaya belanja atau tindak konsumtif lainnya yang ada sekarang ini menyiratkan akan adanya sebuah keretakan budaya Jawa.
Berkurangnya jumlah rumah joglo sebagai jagad cilik dan berganti dengan model rumah yang bernuansa modern adalah fenomena kedua yang menyebabkan memudarnya budaya Jawa. Padahal rumah joglo lebih kokoh dan anti gempa dibanding rumah modern karena rumah Jawa memiliki soko guru sebagai tiang penopang yang diselaraskan dengan situasi alam.
Dibidang hukum, terlihat adanya hilangnya peran hukum yang disebabkan karena pemaksaan kehendak penguasa dan tergerus arus globalisasi serta penyesuaian hukum-hukum adat dengan hukum internasional. Ketiga aspek yang mengindikasikan memudarnya budaya Jawa ini merupakan akibat dari merosotnya nilai filsafat Jawa yaitu memayu hayuning bawana. Sebuah nilai filsafat yang memuat nilai persaudaraan, hormat kepada sesama dan alam sekitar, dan menjaga keseimbangan hidup yang mulai ditinggalkan kaum muda jaman sekarang.
Lalu apakah semua nilai, etika dan budaya Jawa memudar. Tentunya tidak, karena masih ada nilai, etika dan budaya Jawa yang masih tetap dilestarikan hingga sekarang ini antara lain prinsip rukun dan prinsip hormat masih dipertahankan sampai saat ini.
Prinsip rukun dan hormat adalah dua prinsip dasar dalam kehidupan masyarakat Jawa yang tertanam sangat kuat karena diajarkan dalam keluarga. Setiap individu diajarkan untuk senantiasa bertindak rukun dan hormat pada sesamanya. Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan yang harmonis.
Prinsip hormat mengajarkan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing pihak meresapi seluruh kehidupan orang Jawa.
Lalu bagaimana supaya nilai, etika dan budaya Jawa bisa bertahan dan eksis dikalangannya sendiri. Ini adalah pekerjaan rumah yang besar bagi setiap individu dalam masyarakat Jawa. Cukup dengan menggabungkan keseimbangan dalam berolah pikir, jiwa dan rasa pada setiap insan
(Tripartite olah rasa-jiwa-pikir) telah mampu memposisikan keandalan budaya Jawa, tetap akan eksis dalam konstelasi budaya global. bahkan saat inibatik yang telah diakui oleh unesco menjadi kebudayaan asli indonesia telah menjadi kebanggaan tersendiri oleh masyarakat inndonesianya dimana pada hari tertentu (jumat) para menteri/ pegawai pemerintah selalu menggunakan batik pada hari tersebut selain itu batikpun kini menjadi salah satu tren dikalangan anak muda dengan banyaknya barang-barang yang bercirikan khas batik mulai dari sandal batik,tas batik bahkan model rambut yang membentuk ukiran batik.