CONTOH LEADERSHIP PUNAKAWAN
ABDI KINASIH KESATRIA PENDHAWA LIMA
KI LURAH SEMAR BADRANAYA, NALA GARENG,
PETRUK KANTHONG BOLONG DAN KI LURAH BAGONG
“Tanggap ing sasmita dan Limpat Pasang ing Grahita, dan Cakra-Manggilingan”
ABDI KINASIH KESATRIA PENDHAWA LIMA
KI LURAH SEMAR BADRANAYA, NALA GARENG,
PETRUK KANTHONG BOLONG DAN KI LURAH BAGONG
“Tanggap ing sasmita dan Limpat Pasang ing Grahita, dan Cakra-Manggilingan”
“Pinangka mrih hamemayu hayuning bawana”
“Puna” atau “pana” dalam terminologi Jawa artinya memahami, terang, jelas, cermat,
mengerti, cerdik dalam mencermati atau mengamati makna hakekat di balik
kejadian-peristiwa alam dan kejadian dalam kehidupan manusia. Sedangkan kawan
berarti pula pamong atau teman. Jadi punakawan mempunyai makna yang
menggambarkan seseorang yang menjadi teman, yang mempunyai kemampuan
mencermati, menganalisa, dan mencerna segala fenomena dan kejadian alam serta
peristiwa dalam kehidupan manusia. Punakawan dapat pula diartikan seorang
pengasuh, pembimbing yang memiliki kecerdasan fikir, ketajaman batin,
kecerdikan akal-budi, wawasannya luas, sikapnya bijaksana, dan arif dalam
segala ilmu pengetahuan. Ucapannya dapat dipercaya, antara perkataan dan
tindakannya sama, tidaklah bertentangan. Khasanah budaya Jawa menyebutnya
sebagai “tanggap ing sasmita, lan limpat pasang ing grahita”. Dalam istilah
pewayangan terdapat makna sinonim dengan apa yang disebut wulucumbu yakni
rambut yang tumbuh pada jempol kaki. Keseluruhan gambaran karakter pribadi Ki
Lurah Semar tersebut berguna dalam upaya melestarikan alam semesta, dan
menciptakan kemakmuran serta kesejahteraan di bumi pertiwi.
Dalam cerita pewayangan Jawa, punakawan tersebut dibagi menjadi dua kelompok
yang masing-masing memiliki peranan yang sama sebagai penasehat spiritual dan
politik, namun masing-masing mengasuh tokoh yang karakternya saling
kontradiksi.
Kelompok Ki Lurah Semar Badranaya
Kelompok ini terdiri Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong (Sunda: Cepot).
Mereka menggambarkan kelompok punakawan yang jujur, sederhana, tulus, berbuat
sesuatu tanpa pamrih, tetapi memiliki pengetahuan yang sangat luas, cerdik, dan
mata batinnya sangat tajam. Ki Lurah Semar, khususnya, memiliki hati yang
“nyegoro” atau seluas samudra serta kewaskitaan dan kapramanan-nya sedalam
samudra. Hanya satria sejati yang akan menjadi asuhan Ki Lurah Semar. Semar
hakekatnya sebagai manusia setengah dewa, yang bertugas mengemban/momong para
kesatria sejati.
Ki Lurah Semar disebut pula Begawan Ismaya atau Hyang Ismaya, karena
eksistensinya yang teramat misterius sebagai putra Sang Hyang Tunggal umpama
dewa mangejawantah. Sedangkan julukan Ismaya artinya tidak wujud secara
wadag/fisik, tetapi yang ada dalam keadaan samar/semar. Dalam
uthak-athik-gathuk secara Jawa, Ki Semar dapat diartikan guru sejati (sukma
sejati), yang ada dalam jati diri kita. Guru sejati merupakan hakekat Zat
tertinggi yang terdapat dalam badan kita. Maka bukanlah hal yang muskil bila
hakekat guru sejati yang disimbolkan dalam wujud Ki Lurah Semar, memiliki
kemampuan sabda pendita ratu, ludahnya adalah ludah api (idu geni). Apa yang
diucap guru sejati menjadi sangat bertuah, karena ucapannya adalah kehendak
Tuhan. Para kesatria yang diasuh oleh Ki Lurah Semar sangat beruntung karena
negaranya akan menjadi adil makmur, gamah ripah, murah sandang pangan,
tenteram, selalu terhindar dari musibah.
Tugas punakawan dimulai sejak kepemimpinan Prabu Herjuna Sasrabahu di negeri
Maespati, Prabu Ramawijaya di negeri Pancawati, Raden Sakutrem satria
Plasajenar, Raden Arjuna Wiwaha satria dari Madukara, Raden Abimanyu satria
dari Plangkawati, dan Prabu Parikesit di negeri Ngastina. Ki Lurah Semar selalu
dituakan dan dipanggil sebagai kakang, karena dituakan dalam arti kiasan yakni
ilmu spiritualnya sangat tinggi, sakti mandraguna, berpengalaman luas dalam
menghadapi pahit getirnya kehidupan. Bahkan para Dewa pun memanggilnya dengan
sebutan “kakang”.
Kelompok punakawan ini bertugas :
1. Menemani (mengabdi) para bendhara (bos) nya yang memiliki karakter luhur
budi pekertinya. Tugas punakawan adalah sebagai “pembantu” atau abdi sekaligus
“pembimbing”. Tugasnya berlangsung dari masa ke masa.
2. Dalam cerita pewayangan, kelompok ini lebih sebagai penasehat spiritual, pamomong, kadang berperan pula sebagai teman bercengkerama, penghibur di kala susah.
3. Dalam percengkeramaannya yang bergaya guyon parikena atau saran, usulan dan kritikan melalui cara-cara yang halus, dikemas dalam bentuk kejenakaan kata dan kalimat. Namun di dalamnya selalu terkandung makna yang tersirat berbagai saran dan usulan, dan sebagai pepeling akan sikap selalu eling dan waspadha yang harus dijalankan secara teguh oleh bendharanya yang jumeneng sebagai kesatria besar.
4. Pada kesempatan tertentu punakawan dapat berperan sebagai penghibur selagi sang bendhara mengalami kesedihan.
5. Pada intinya, Ki Lurah Semar dkk bertugas untuk mengajak para kesatria asuhannya untuk selalu melakukan kebaikan atau kareping rahsa (nafsu al mutmainah). Dalam terminologi Islam barangkali sepadan dengan istilah amr ma’ruf.
2. Dalam cerita pewayangan, kelompok ini lebih sebagai penasehat spiritual, pamomong, kadang berperan pula sebagai teman bercengkerama, penghibur di kala susah.
3. Dalam percengkeramaannya yang bergaya guyon parikena atau saran, usulan dan kritikan melalui cara-cara yang halus, dikemas dalam bentuk kejenakaan kata dan kalimat. Namun di dalamnya selalu terkandung makna yang tersirat berbagai saran dan usulan, dan sebagai pepeling akan sikap selalu eling dan waspadha yang harus dijalankan secara teguh oleh bendharanya yang jumeneng sebagai kesatria besar.
4. Pada kesempatan tertentu punakawan dapat berperan sebagai penghibur selagi sang bendhara mengalami kesedihan.
5. Pada intinya, Ki Lurah Semar dkk bertugas untuk mengajak para kesatria asuhannya untuk selalu melakukan kebaikan atau kareping rahsa (nafsu al mutmainah). Dalam terminologi Islam barangkali sepadan dengan istilah amr ma’ruf.
Adapun watak kesatria adalah: halus, luhur budi pekerti, sabar, tulus, gemar
menolong, siaga dan waspada, serta bijaksana.
Kelompok Ki Lurah Togog
Kelompok ini terdiri tiga personil yakni: Ki Lurah Togog (Sarawita) dan
Mbilung. Punakawan ini bertugas menemani bendhara-nya yang berkarakter dur
angkara yakni para Ratu Sabrang. Sebut saja misalnya Prabu Baladewa di negeri
Mandura, Prabu Basukarna di negeri Ngawangga, Prabu Dasamuka (Rahwana) di
negeri Ngalengka, Prabu Niwatakawaca di negeri Iman-Imantaka dan beberapa
kesatria dari negara Sabrangan yang berujud (berkarakter) raksasa; pemarah,
bodoh, namun setia dalam prinsip. Lurah Togog disebut pula Lurah Tejamantri. Ki
Togog dkk secara garis besar bertugas mencegah asuhannya yang dur angkara,
untuk selalu eling dan waspadha, meninggalkan segala sifat buruk, dan semua
nafsu negatif. Beberapa tugas mereka antara lain:
1. Mereka bersuara lantang untuk selalu memberikan koreksi, kritikan dan
saran secara kontinyu kepada bendhara-nya.
2. Memberikan pepeling kepada bendhara-nya agar selalu eling dan waspadha
jangan menuruti kehendak nafsu jasadnya (rahsaning karep).
Gambaran tersebut sesungguhnya memproyeksikan pula karakter dalam diri
manusia (jagad alit). Sebagaimana digambarkan bahwa kedua kesatria di atas
memiliki karakter yang berbeda dan saling kontradiktori. Maknanya, dalam jagad kecil
(jati diri manusia) terdapat dua sifat yang melekat, yakni di satu sisi
sifat-sifat kebaikan yang memancar dari dalam cahyo sejati (nurulah) merasuk ke
dalam sukma sejati (ruhulah). Dan di sisi lain terdapat sifat-sifat buruk yang
berada di dalam jasad atau ragawi. Kesatria yang berkarakter baik diwakili oleh
kelompok Pendawa Lima beserta para leluhurnya. Sedangkan kesatria yang
berkarakter buruk diwakili oleh kelompok Kurawa 100. walaupun keduanya
masing-masing sudah memiliki penasehat punakawan, namun tetap saja terjadi
peperangan di antara dua kelompok kesatria tersebut. Hal itu menggambarkan
betapa berat pergolakan yang terjadi dalam jagad alit manusia, antara nafsu
negatif dengan nafsu positif. Sehingga dalam cerita pewayangan digambarkan
dengan perang Brontoyudho antara kesatria momongan Ki Lurah Semar dengan
kesatria momongan Ki Togog. Antara Pendawa melawan Kurawa 100. Antara nafsu
positif melawan nafsu negatif. Medan perang dilakukan di tengah Padhang
Kurusetra, yang tidak lain menggambarkan hati manusia.
Makna di Balik Simbol Punakawan
1. Ki Lurah Semar (simbol ketentraman dan keselamatan hidup)
Membahas Semar tentunya akan panjang lebar seperti tak ada titik akhirnya.
Semar sebagai simbol bapa manusia Jawa. Bahkan dalam kitab jangka Jayabaya, Semar
digunakan untuk menunjuk penasehat Raja-raja di tanah Jawa yang telah hidup
lebih dari 2500 tahun. Dalam hal ini Ki Lurah Semar tiada lain adalah Ki
Sabdapalon dan Ki Nayagenggong, dua saudara kembar penasehat spiritual
Raja-raja. Sosoknya sangat misterius, seolah antara nyata dan tidak nyata, tapi
jika melihat tanda-tandanya orang yang menyangkal akan menjadi ragu. Ki Lurah
Semar dalam konteks Sabdapalon dan Nayagenggong merupakan bapa atau Dahyang-nya
manusia Jawa. Menurut jangka Jayabaya kelak saudara kembar tersebut akan hadir
kembali setelah 500 tahun sejak jatuhnya Majapahit untuk memberi pelajaran
kepada momongannya manusia Jawa (nusantara). Jika dihitung kedatangannya
kembali, yakni berkisar antara tahun 2005 hingga 2011. Maka bagi para satria momongannya
Ki Lurah Semar ibarat menjadi jimat; mung siji tur dirumat. Selain menjadi
penasehat, punakawan akan menjadi penolong dan juru selamat/pelindung tatkala
para satria momongannya dalam keadaan bahaya.
Dalam cerita pewayangan Ki Lurah Semar jumeneng sebagai seorang Begawan,
namun ia sekaligus sebagai simbol rakyat jelata. Maka Ki Lurah Semar juga
dijuluki manusia setengah dewa. Dalam perspektif spiritual, Ki Lurah Semar
mewakili watak yang sederhana, tenang, rendah hati, tulus, tidak munafik, tidak
pernah terlalu sedih dan tidak pernah tertawa terlalu riang. Keadaan mentalnya
sangat matang, tidak kagetan dan tidak gumunan. Ki Lurah Semar bagaikan air
tenang yang menghanyutkan, di balik ketenangan sikapnya tersimpan kejeniusan,
ketajaman batin, kaya pengalaman hidup dan ilmu pengetahuan. Ki Lurah Semar
menggambarkan figur yang sabar, tulus, pengasih, pemelihara kebaikan, penjaga
kebenaran dan menghindari perbuatan dur-angkara. Ki Lurah Semar juga dijuluki
Badranaya, artinya badra adalah rembulan, naya wajah. Atau Nayantaka, naya
adalah wajah, taka : pucat. Keduanya berarti menyimbolkan bahwa Semar memiliki
watak rembulan (lihat thread: Pusaka Hasta Brata). Dan seorang figur yang
memiliki wajah pucat, artinya Semar tidak mengumbar hawa nafsu. Semareka den
prayitna: semare artinya menidurkan diri, agar supaya batinnya selalu awas.
Maka yang ditidurkan adalah panca inderanya dari gejolak api atau nafsu
negatif. Inilah nilai di balik kalimat wani mati sajroning urip (berani mati di
dalam hidup). Perbuatannya selalu netepi kodrat Hyang Widhi (pasrah), dengan
cara mematikan hawa nafsu negatif. Sikap demikian akan diartikulasikan ke dalam
sikap watak wantun kita sehari-hari dalam pergaulan, “pucat’ dingin tidak mudah
emosi, tenang dan berwibawa, tidak gusar dan gentar jika dicaci-maki, tidak
lupa diri jika dipuji, sebagaimana watak Badranaya atau wajah rembulan.
Dalam khasanah spiritual Jawa, khususnya mengenai konsep manunggaling kawula
Gusti, Ki Lurah Semar dapat menjadi personifikasi hakekat guru sejati setiap
manusia. Semar adalah samar-samar, sebagai perlambang guru sejati atau sukma
sejati wujudnya samar bukan wujud nyata atau wadag, dan tak kasad mata.
Sedangkan Pendawa Lima adalah personifikasi jasad/badan yang di dalamnya
terdapat panca indera. Karena sifat jasad/badan cenderung lengah dan lemah,
maka sebaik apapun jasad seorang satria, tetap saja harus diasuh dan diawasi
oleh sang guru sejati agar senantiasa eling dan waspadha. Agar supaya
jasad/badan memiliki keteguhan pada ajaran kebaikan sang guru sejati. Guru
sejati merupakan pengendali seseorang agar tetap dalam “laku” yang tepat, pener
dan berada pada koridor bebener. Siapa yang ditinggalkan oleh pamomong Ki Lurah
Semar beserta Gareng, Petruk, Bagong, ia akan celaka, jika satria maka di
negerinya akan mendapatkan banyak malapetaka seperti : musibah, bencana, wabah
penyakit (pageblug), paceklik. Semua itu sebagai bebendu karena manusia
(satria) yang ditinggalkan guru sejati-nya telah keluar dari jalur bebener.
Jika ditinjau dari perspektif politik, kelompok Punakawan Ki Lurah Semar dan
anak-anaknya Gareng, Petruk, Bagong sebagai lambang dari lembaga aspirasi
rakyat yang mengemban amanat penderitaan rakyat. Atau semacam lembaga
legislatif. Sehingga kelompok punakawan ini bertugas sebagai penyambung lidah
rakyat, melakukan kritikan, nasehat, dan usulan. Berkewajiban sebagai
pengontrol, pengawas, pembimbing jalannya pemerintahan di bawah para Satria
asuhannya yakni Pendhawa Lima sebagai lambang badan eksekutif atau lembaga
pemerintah. Dengan gambaran ini, sebenarnya dalam tradisi Jawa sejak masa
lampau telah dikenal sistem politik yang demokratis.
2. Nala Gareng
Nala adalah hati, Gareng (garing) berarti kering, atau gering, yang berarti
menderita. Nala Gareng berarti hati yang menderita. Maknanya adalah perlambang
“laku” prihatin. Namun Nala Gareng diterjemahkan pula sebagai kebulatan tekad.
Dalam serat Wedhatama disebutkan gumeleng agolong-gilig. Merupakan suatu tekad
bulat yang selalu mengarahkan setiap perbuatannya bukan untuk pamrih apapun, melainkan
hanya untuk netepi kodrat Hyang Manon. Nala Gareng menjadi simbol duka-cita,
kesedihan, nelangsa. Sebagaimana yang tampak dalam wujud fisik Nala Gareng
merupakan sekumpulan simbol yang menyiratkan makna sbb:
Mata Juling:
Mata sebelah kiri mengarah keatas dan ke samping. Maknanya Nala Gareng
selalu memusatkan batinnya kepada Hyang Widhi.
Lengan Bengkok atau cekot/ceko :
Melambangkan bahwasannya manusia tak akan bisa berbuat apa-apa bila tidak
berada pada kodrat atau kehendak Hayng Widhi.
Kaki Pincang, jika berjalan sambil jinjit :
Artinya Nala Gareng merupakan manusia yang sangat berhati-hati dalam
melangkah atau dalam mengambil keputusan. Keadaan fisik nala Gareng yang tidak
sempurna ini mengingatkan bahwa manusia harus bersikap awas dan hati-hati dalam
menjalani kehidupan ini karena sadar akan sifat dasar manusia yang penuh dengan
kelemahan dan kekurangan.
Mulut Gareng :
Mulut gareng berbentuk aneh dan lucu, melambangkan ia tidak pandai bicara,
kadang bicaranya sasar-susur (belepotan) tak karuan. Bicara dan sikapnya serba
salah, karena tidak merasa percaya diri. Namun demikian Nala Gareng banyak
memiliki teman, baik di pihak kawan maupun lawan. Inilah kelebihan Nala Gareng,
yang menjadi sangat bermanfaat dalam urusan negosiasi dan mencari relasi, sehingga
Nala Gareng sering berperan sebagai juru damai, dan sebagai pembuka jalan untuk
negosiasi. Justru dengan banyaknya kekurangan pada dirinya tersebut, Nala
Gareng sering terhindar dari celaka dan marabahaya.
3. Petruk Kanthong Bolong
Ki Lurah Petruk adalah putra dari Gandarwa Raja yang diambil anak oleh Ki
Lurah Semar. Petruk memiliki nama alias, yakni Dawala. Dawa artinya panjang,
la, artinya ala atau jelek. Sudah panjang, tampilan fisiknya jelek. Hidung,
telinga, mulut, kaki, dan tangannya panjang. Namun jangan gegabah menilai,
karena Lurah Petruk adalah jalma tan kena kinira, biar jelek secara fisik
tetapi ia sosok yang tidak bisa diduga-kira. Gambaran ini merupakan pralambang
akan tabiat Ki Lurah Petruk yang panjang pikirannya, artinya Petruk tidak grusah-grusuh
(gegabah) dalam bertindak, ia akan menghitung secara cermat untung rugi, atau
resiko akan suatu rencana dan perbuatan yang akan dilakukan. Petruk Kanthong
Bolong, menggambarkan bahwa Petruk memiliki kesabaran yang sangat luas, hatinya
bak samodra, hatinya longgar, plong dan perasaannya bolong tidak ada yang
disembunyikan, tidak suka menggerutu dan ngedumel.
Dawala, juga menggambarkan adanya pertalian batin antara para leluhurnya di
kahyangan (alam kelanggengan) dengan anak turunnya, yakni Lurah Petruk yang
masih hidup di mercapada. Lurah Petruk selalu mendapatkan bimbingan dan
tuntunan dari para leluhurnya, sehingga Lurah Petruk memiliki kewaskitaan
mumpuni dan mampu menjadi abdi dalem (pembantu) sekaligus penasehat para
kesatria.
Petruk Kanthong Bolong wajahnya selalu tersenyum, bahkan pada saat sedang
berduka pun selalu menampakkan wajah yang ramah dan murah senyum dengan penuh
ketulusan. Petruk mampu menyembunyikan kesedihannya sendiri di hadapan para
kesatria bendharanya. Sehingga kehadiran petruk benar-benar membangkitkan
semangat dan kebahagiaan tersendiri di tengah kesedihan. Prinsip “laku” hidup
Ki Lurah Petruk adalah kebenaran, kejujuran dan kepolosan dalam menjalani
kehidupan. Bersama semua anggota Punakawan, Lurah Petruk membantu para kesatria
Pandhawa Lima (terutama Raden Arjuna) dalam perjuangannya menegakkan kebenaran
dan keadilan.
4. Bagong
Bagong adalah anak ketiga Ki Lurah Semar. Secara filosofi Bagong adalah
bayangan Semar. Sewaktu Semar mendapatkan tugas mulia dari Hyang Manon, untuk
mengasuh para kesatria yang baik, Semar memohon didampingi seorang teman.
Permohonan Semar dikabulkan Hyang Maha Tunggal, dan ternyata seorang teman
tersebut diambil dari bayangan Semar sendiri. Setelah bayangan Semar menjadi
manusia berkulit hitam seperti rupa bayangan Semar, maka diberi nama Bagong.
Sebagaimana Semar, bayangan Semar tersebut sebagai manusia berwatak lugu dan
teramat sederhana, namun memiliki ketabahan hati yang luar biasa. Ia tahan
menanggung malu, dirundung sedih, dan tidak mudah kaget serta heran jika
menghadapi situasi yang genting maupun menyenangkan. Penampilan dan lagak Lurah
Bagong seperti orang dungu. Meskipun demikian Bagong adalah sosok yang tangguh,
selalu beruntung dan disayang tuan-tuannya. Maka Bagong termasuk punakawan yang
dihormati, dipercaya dan mendapat tempat di hati para kesatria. Istilahnya
bagong diposisikan sebagai bala tengen, atau pasukan kanan, yakni berada dalam
jalur kebenaran dan selalu disayang majikan dan Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar